Pendidikan Inklusi, PR besar bagi penyelenggara pendidikan di Aceh (Tamiang)

Pada hari Kamis yang bertepatan pada tanggal 31 Oktober 2013 atau dapat juga dikatakan sekitar dua hari yang lalu, saya sang pengangguran sarjana muda ini mendapat kesempatan untuk mengisi sebuah acara resmi yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang diangkat oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tamiang di salah satu sekolah islam swasta di Kabupaten Aceh Tamiang ini. Tepatnya sekolah tersebut terletak di Kota Kuala Simpang. Hadir juga seorang guru dari perwakilah sekolah khusus (dulu dikenal dengan sekolah luar biasa) yang menjadi tandem saya dalam menyampaikan materi.

Tema yang diangkat pada kegiatan tersebut adalah Sosialisasi Pendidikan Inklusi yang ditujukan kepada Kepala Sekolah Dasar dan Kepala Sekolah Pendidikan Menengah Pertama serta guru bidang studi Pendidikan Agama Islam dan guru Bimbingan Konseling. Adapun, peserta yang hadir pada kesempatan bersebut berjumlah 50 orang, yang terdiri dari kepala sekolah dan guru bidang studi.

Tema Pendidikan Inklusi, bukan merupakan hal yang baru diranah pendidikan formal di tanah air kita ini. Konon, pemerintah Indonesia telah gencar mencanangkan pendidikan tersebut sejak tahun 2003-an. Namun, masih banyak rakyat umumnya serta guru-guru yang belum memahami atau mendengar sama sekali program pemerintah yang telah dicanangkan juga oleh hampir seluruh negara di dunia ini dalam menyelenggarakan pendidikan di negaranya.

Untuk sedikit memberikan gambaran, saya akan sedikit memaparkan mengenai pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi secara luas merupakan salah satu pendidikan yang mengusung keberagaman setiap individu untuk dapat terjamin hak-haknya dalam mendapatkan pelayanan dan pendidikan di sekolah-sekolah, baik di tingkat dasar, menengah pertama dan menengah atas/kejuruan. Keberagaman individu tersebut dapat diartikan baik dalam keberagaman agama, ras dan bangsa, serta juga keberagaman kondisi fisik, mental dan sosial. Adapun secara sempitnya, pendidikan inklusi ialah menciptakan kondisi belajar pada lingkungan sekolah agar seluruh peserta didiknya dapat diterima tanpa terkecuali, dan lebih dalam pembahasan ini spesifiknya peserta didik tersebut adalah anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (ABK) atau jamak dikenal oleh masyarakat adalah penyandang kelainan, baik Fisik, Sosial dan Intelektual. Dengan adanya pendidikan inklusi anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut tidak lagi harus menjalani pendidikan di sekolah-sekolah khusus atau sekolah luar biasa (SLB) saja, namun ABK tersebut harus bersekolah di sekolah reguler layaknya anak-anak awas yang tidak memiliki kebutuhan khusus pada umumnya, dengan syarat ABK tersebut telah memiliki kriteria tertentu sebelum bisa bersekolah di sekolah reguler. 

Pendidikan inklusi tidak dapat dipisahkan dari yang namanya Anak Berkebutuhan Khusus, yang Insya Allah akan saya paparkan dilain kesempatan, karena untuk membahas secara mendetail mengenai ABK dan Pendidikan Inklusi membutuhkan pembahasan yang mendalam. Namun, dengan sedikit pemaparan yang telah saya sampaikan diharapkan yang belum mengetahui mengenai pendidikan inklusi dapat sedikit memiliki gambaran-dan jika memang sangat ingin tahu, mbah google sangat teramat dapat diandalkan.

Kembali ketema sosialisasi pendidikan inklusi, adapun seperti yang telah saya infokan sebelumnya, pemerintah Indonesia telah lama mencanangkan terobosan pendidikan ini. Namun, bagi situasi pendidikan di Aceh, ini merupakan hal yang baru sehingga baru sekarang sosialisasi mengenai pendidikan inklusi tersebut dapat diberikan. Adapun sosialisasi yang diberikan, sangatlah mendasar, apalagi umumnya kepala-kepala sekolah yang menghadiri forum tersebut belum semuanya memahami anak-anak yang akan dilayani jika sekolah mereka melayani seting pendidikan inklusi, dalam hal ini anak-anak tersebut adalah anak berkebutuhan khusus. Sehingga, dengan tema yang diberikan mengenai sosialisasi pendidikan inklusi saya harus mempaparkan lebih jauh terlebih dahulu mengenai anak-anak berkebutuhan khsusus berikut istilah-istilah yang berada didalamnya sebelum saya berbicara lebih jauh mengenai pendidikan inklusi sendiri.
Ketika memberikan materi mengenai anak berkebutuhan khusus.
Sehingga, waktu yang diberikan dari jam 08.00 pagi hingga 16.30 sore hari, tidak memadai untuk bisa menginfokan lebih jauh mengenai sistem inklusi, dan memang kepala-kepala sekolah ini belum melayani seting pendidikan inklusi di sekolah-sekolah mereka sehingga materi mengenai ABK berikut penanganannya lebih saya kedepankan dari pada membahas pendidikan inklusi itu sendiri, dan juga ketika sesi pemaparan materi mengenai ABK telah saya sampaikan, lebih jauh kami hanya melakukan diskusi-diskusi mengenai kondisi yang ada di lapangan, dimana memang ABK itu sendiri ada pada sekolah-sekolah reguler namun guru belum mengetahui tentang hal tersebut sehingga terjadi hal-hal yang tidak mereka perkirakan sebelumnya. 
Ketika dipenghujung berakhirnya materi mengenai anak berkebutuhan khusus
Dalam sesi diskusi ini, saya juga dibantu oleh dua orang kepala sekolah yang telah menerima dan melayani anak berkebutuhan khusus di sekolahnya (walalupun belum mendeklarasikan sebagai sekolah inklusi) dan seorang guru dari sekolah khusus yang membahas fenomena-fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah yang khususnya membahas anak-anak berkebutuhan khusus serta pengalaman bagaimana menangani fenomena tersebut. Dalam sesi yang hanya berjalan kurang lebih dua jam ini, tidaklah cukup untuk dapat menjawab semua pertanyaan yang timbul-yang mana kepala-kepala sekolah ini juga memiliki antusias untuk lebih lanjut membahas fenomena ini-sehingga dalam kesempatan kali ini, ada beberapa jawaban yang menurut saya kurang dapat memuaskan keingintahuan dari penanya-jika saya (dan partner) yang menjawab saja rasanya masih menggantung, apalagi bagi penanya. Namun, terlepas dari situasi dan kondisi yang seperti itu, sepertinya pemaparan kami mengenai ABK berikut penanganannya sudah cukup memberikan secuil pondasi bagi para peserta yang hadir pada forum tersebut. Walaupun, sebenarnya dibutuhkan beberapa pertemuan lagi untuk benar-benar dapat menegakkan pondasi mengenai ABK dan Pendidikan Inklusi itu sendiri.
Diskusi mengenai fenomena yang terjadi dilapangan
Terlepas dari itu semua, ini merupakan PR besar bagi segenap pihak yang mengambil andil untuk melaksanakan dan mensukseskan pendidikan inklusi, dan merupakan sebuah tanggung jawab saya sebagai pengangguran sarjana muda yang bergelut dibidang pendidikan khusus untuk mendampingi usaha-usaha yang dilakukan pihak-pihak tersebut. Ini merupakan satu dasar dalam meletakkan sebuah pondasi-bisa dikatakan peletakan batu pertama-untuk pemerintah Aceh, khususnya penyelenggara pendidikan serta segenapa jajaran birokrasi yang berada dibelakangnya untuk dapat membuat Aceh (menyelenggarakan pendidikan) Inklusif bagi setiap warganya agar mendapatkan hak-haknya dalam pendidikan dan pengajaran, tanpa terkecuali, tanpa memandang latar belakang, tanpa memilah-memilah. Semoga kedepannya, Aceh yang mencanangkan Pendidikan Inklusi dapat segera mendeklarasikan sebagai Provinsi Penyelenggara Pendidikan Inklusi, namun jika itu terlalu muluk setidaknya saya berharap dalam 2 tahun kedepan Aceh Tamiang dapat mendeklarasikan sebagai salah satu daerah penyelenggara pendidikan (serta masyarakat) inklusi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Hidup dan Beradaptasi

“Short Time” di Kuala Lumpur