Sementara, Kami Tunda

Akibat dari kejadian tidak bisa tidur yang saya alami tadi pagi (tepatnya hingga jam 03.00), hari ini saya memulai aktivitas kira-kira pada jam 11.35 menjelang siang hari. Sebenarnya agak aneh juga sih, karena saat saya bangun untuk shalat shubuh ketika selesai shalat saya malah tidak mengantuk, dan memilih untuk menghabiskan beberapa setoran lagu ke last.fm terlebih dahulu, baru sekitar pukul 07.00 saya kembali membenamkan kepala dalam-dalam kebantal dan kembali tidur.

Sudahlah, judul kali ini memang tidak akan menyinggung sedikitpun mengenasi kejadian saya bangkong dan apa saja mimpi yang saya dapat ketika menikmati kebangkongan tersebut. Singkat cerita saya berbenah dengan memulai hari kira-kira pada jam 11.35, kehidupan seorang pengangguran sarjana muda itu memang menyenangkan, tidak ada deadline dalam menjalani aktivitas, semua serba mandiri tanpa ada yang menghakimi. Sekitar jam 12.05 saya telah selesai berbenah dan bersiap untuk pergi ke mesjid guna menunaikan shalat zhuhur. Namun, ketika saya hendak keluar rumah, oom saya minta tolong untuk menjemput sepupu saya, untuk pulang dari asrama. Jadilah saya pergi ke komplek tempat asrama dan sekolah sepupu saya tersebut. Sebelum saya pergi kesana saya menyempatkan diri untuk shalat disalah satu mesjid yang berada tidak jauh dari pusat kota. Selesai segala urusan saya dengan Tuhan, saya lanjutkan perjalanan saya untuk pergi menjemput bocah tersebut.

Selang beberapa menit saya sudah tiba di komplek tersebut. Namun sialnya, bocah tersebut kebetulan memiliki jadwal ekstra untuk latihan baris berbaris, karena kebetulan untuk upacara bendera di hari senin adalah giliran kelompoknya. Dan sebelumnya dia tidak memberikan konfirmasi terlebih dahulu kepada saya atau ayahnya. Jadilah saya harus menunggu hingga dia menyelesaikan paket latihannya ditengah lapangan yang disinari oleh terik matahari yang begitu cerahnya.

Bosan menunggu sendirian, saya berinisiatif untuk menghubungi melalui fasilitas SMS salah seorang teman yang kebetulan rumahnya berada di komplek tersebut, teman masa SMA, sudah pegawai pula. Sedikit bocoran teman tersebut telah bekerja di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Narkoba yang hanya satu-satunya ada di provinsi saya. Jadi secara ekonomi bisa dikatakan sudah cukup mapan. Gayung bersambut, selang beberapa detik balasan SMS darinya tiba, mengatakan kalau dia berada di rumah, tidak dinas.

Sayapun segera memacu kendaraan menuju rumahnya. Setibanya disana, ternyata teman saya tidak sendirian, dia ditemani seorang teman wanita yang telah menjadi tunangannya, dan kebetulan juga merupakan teman saya. Sedikit basa basi saya lontarkan kepada mereka. Tak lama berselang, saya mengajukan topik mengenai kapan mereka akan melanjutkan ketahap jenjang pernikahan. Pikir saya, sang wanita sudah berada pada semester 7 perkuliahan dan sang pria sudah menjadi pegawai negara yang bisa dikatakan memiliki taraf ekonomi yang stabil.

Paling lambat bulan 4 tahun 2015-lah, man”. Begitu jawaban yang diberikan oleh sang pria.

Seketika itu berkecamuk pertanyaan dalam benak saya, sang pria sudah dapat dikatakan mapan dengan pendapatannya sebagai seorang pegawai negara, sang wanita juga tinggal beberapa semester lagi menyelesaikan perkuliahannya, dan beragam prejudice yang menari-nari dibenak saya. Dan satu pertanyaan yang saya lontarkan, “mengapa?”.

Menunggu kakak nikah duluanlah, gak enak ngelangkahin” begitu timpalnya. Seerrr, what a reason! Saya tidak pernah berpikir sampai kesana, mengingat saya tidak memiliki saudara kandung yang lebih tua diatas saya, saya cermati jawaban tersebut perlahan, lalu saya kembali bertanya.
Memang kalau kau nikah duluan, kakakmu kenapa? Dalam islam juga gak ada aturan untuk mendahulukan yang lebih tua menikah sebelum adik-adiknya?” Dengan sedikit menggebu saya bertanya.

Kata wawak aku, gak enak nanti sama dia. Takut nanti ada perasaan yang tidak enak dalam diri si kakak” Sang pria menimpali.

Saya takjub, dengan apa yang terjadi disini. Sebenarnya bukan lahan saya untuk memaksakan mereka untuk segera menikah, tapi saya hanya ingin menanggapi “fenomena” yang terjadi dimasyarakat ini. Seorang pria, yang sudah mapan ekonominya, sudah memiliki calon yang telah ditunanginya, tapi belum bisa naik ke pelaminan lantaran dia harus menunggu kakaknya untuk menikah. Sungguh sesuatu yang ganjil bagi saya. Ini merupakan sebuah “fenomena” sosial yang terjadi, dan masih banyak lagi “fenomena-fenomena” yang menurut hemat saya sedikit ganjil. Karena sebagai muslim, saya tidak menemukan adanya ayat al-quran ataupun hadist-hadist rasul yang menyatakan jika ingin menikah tunggu dulu sebelum saudara yang lebih tua menikah duluan. Malah dalam al-quran dan hadist sangat dianjurkan untuk menikah bagi mereka yang sudah merasa siap.

Saya juga tidak bisa menyalahkan keputusan yang diambil oleh mereka berdua, karena bagaimanapun niat untuk tidak menikah sebelum kakaknya menikah terlebih dahulu adalah karena menurut hemat mereka untuk menjaga sisi psikologis si kakak dan sosial masyarakat. Sungguh itu sebuah pilihan masing-masing orang untuk mengambil keputusan bagi dirinya, apalagi yang menyangkut keluarganya.

Pembicaraan kami terus berlanjut, dan saya kembali bertanya, “kalau sampai batas yang ditentukan kakamu belum nikah juga, gimana?” tanya saya.

Nah kalau sudah begitu keadaannya, ya kami akan lanjut menikah” begitu jawaban sang pria.

Saya sedikit tergelitik dengan jawaban ini, saya juga merasa sedikit lucu dengan realita yang ada. Sering kali anggapan masyarakat luaslah yang menjadi acuan untuk melakukan sesuatu, apalagi sesuatu yang mulia. Padahal jika dikaji, agama (islam) tidak melarang seseorang untuk menikah jika masih ada saudara kandungnya yang lebih tua belum (dapat) menikah, asal calon mempelai benar-benar siap. Agama juga tidak melarang bagi seseorang untuk menikah jika masih belum memiliki pekerjaan yang tetap, asal orang tersebut tidak malas untuk mencari nafkah baginya dan calon istrinya, Allah yang akan mencukupkannya. dan tentu saja kesiapan mental dan pondasi agama haruslah menjadi acuan yang lebih utama daripada sekedar pandangan sosial di realita. Tentu saja ini hanya beberapa contoh dari realita sosial yang terjadi dalam kehidupan keta, tak lebih tak kurang saya hanya tersenyum dan merenung dibuatnya. Yah, namanya juga hidup, bermasyarakat pula.

Ya kami sih, tunda aja” Timpal teman saya mengakhiri perbincangan masalah rumah tangga.

Handphone saya bergetar, terdapat satu buah SMS yang memberi tahukan kalau bocah tersebut telah selesai menjalani latihannya, saya pamit pulan kepada mereka berdua sembari memacu laju kereta, tersenyum menyikapi realita.

Nb: Sedikit banyak masalah pernikahan ini menjadi pemicu bagi penulis untuk menyegerakan perhelatannya, karena ingin sekali merubah paradigma yang ada, Insya Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Hidup dan Beradaptasi

“Short Time” di Kuala Lumpur