Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Ontel, 1 Muharram 1436 Hijriah, and The (forgotten) Golden Age.

Gambar
Ah, Kampung Inggris. Telah saya habiskan beberapa hari di sebuah desa, di daerah Pare, yang kondisi sosial-pendidikan masyarakat di tempat tersebut salah satunya bertopang dari ratusan lembaga kursus bahasa, Inggris salah satunya, menjamur. Layaknya jenis yang mendapatkan pupuk dan pengairan terbaik. Kondisi kampungnya tak jauh berbeda dari kampung-kampung lainnya, seperti akses jaringan internet, yang lebih mengutamakan penggunaan layanan internet kabel. Dan saya sebagai seorang pengguna internet yang bergantung pada kondisi jaringan harus sering-sering mengelus dada, dalam-dalam. Yah, sinyal internet, provider saya utamanya, merupakan satu hal yang tidak tertular kejayaan di daerah ini. Namun, dibalik itu semua, Kampung Inggris memiliki corak, warna, dan daya tarik tersendiri. Yah, namanya juga kampung, pastilah tidak banyak berbeda dari keadaan dan suasana kampung-kampung lainnya dibelahan penjuru Nusantara tercinta. Namun, tetap ada juga hal membedakannya dari daerah-daer

Pendampingan, Sebuah Project untuk English-Area

Gambar
23 Oktober 2014 Beberapa hari sebelum tanggal tersebut, saya mendapatkan tawaran dari ayahanda, untuk mendampingi siswa Sekolah Sumber guna melaksanakan program belajar ke Kampung Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. Sebuah awal dari project yang digalang, untuk menciptakan semacam English-Area, yang pada awalnya terkhusus di kawasan asrama Sekolah Sumber Pembina Aceh Tamiang. Saya, bersama dengan tim dari RIM lain, yang sedang gencar-gencarnya melakukan program sosialisasi dan workshop untuk membentuk Sekolah Sumber sebagai salah satu syarat untuk terciptanya kondisi ideal Pendidikan Inklusi, terpaksa harus memutar otak . Untuk melanjutkan program-program tersebut atau menundanya, untuk sementara. Sampailah akhirnya ayah memaparkan program-program yang akan dilaksanakan nantinya hingga harus memberangkatkan beberapa perwakilan siswa ke Pare. Dengan seksama saya mendengarkan, mencermati, serta menimbang barang berapa kali timbang terhadap pemaparan tersebut. dan akhirnya saya m

Teman dan Kopi, dan juga (banyak) prihal tentang Wanita.

Gambar
Ah, teman. Selalu saja ada cerita yang terjadi ketika berhadapan dengan makhluk tuhan dalam entitas kita sebagai makhluk sosial ini. Baik itu cerita yang akan segera dirajut, yang sedang berjalan, atau sekedar melepaskan luapan beberapa kenangan masa lalu yang masih terpatri dalam memori jangka panjang, terlebih kenangan konyol bin banyol usia belasan sekelompok ABG labil. Haha, benar. Saya rasa memang tahapan tingkat kedewasaan manusia sudah sedikit mengalami pergeseran dan penambahan dari definisi awal beberapa ahli dalam kurun satu dekade silam. Ada penambahan tahapan sebelum seseorang itu disebut manusia dewasa. Ya, ABG dengan embel-embel labil merupakan tahapan perkembangan tersebut. Tadi malam, saya kembali bertemu dengan komplotan manusia yang dulunya tergolong kategori yang saya bahas diatas, tidak, sekarang komplotan tersebut sedikit demi sedikit sudah mulai dipaksa untuk mencerna realita kehidupan. Kategori tersebut berlaku sekitar satu dekade silam. Dan sayapun menyada

Sosialisasi dan Diskusi Lanjutan Mengenai Sekolah Sumber

Gambar
Kemarin, atau tepatnya tanggal 25 september 2014, saya dan teman-teman dari Rumah Inklusi Madani (RIM) kembali menggelar prosesi sosialisasi dan diskusi kepada Guru-Guru di Sekolah Sumber (SLB, red). Kegiatan yang kami adakan ini adalah lanjut dari kegiatan sosialisasi dan nantinya, workshop, kepada guru-guru di sekolah tersebut yang telah diawali pada tanggal 13 september 2014 sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan kemarin masih membahas dan menginformasikan kepada guru-guru di sekolah tersebut akan peran mereka nantinya ketika telah berbicara mengenai Sekolah Sumber dalam konteks Pendidikan Inklusi. Dalam kegiatan tersebut kami, dari pihak RIM, memaparkan hal-hal atau pekerjaan tambahan yang nantinya akan dilakoni oleh guru sekolah sumber ketika program sekolah sumber tersebut telah berjalan tentunya. Sebenarnya, program kegiatan tersebut memang telah dilaksanakan oleh guru-guru di sekolah tersebut, dan juga guru-guru di sekolah sumber lainnya. Namun, terkadang kegiatan tersebu

Sosialisasi Rumah Inklusi Madani, dan Setapak Gerakan

Gambar
Seperti artikel yang saya tulis bulan lalu, ya memang bulan-bulan ini saya dihadapkan dengan situasi yang sedikit menyita waktu hingga tak bisa mengalokasikan sepersekian jamnya untuk menulis, mengenai  Perubahan dibidang Pendidikan . Saya dan teman-teman dari Rumah Inklusi Madani (RIM) menindak lanjutinya dengan program dari lembaga kami, yakni melakukan Sosialisasi kepada Pusat Sumber (SLB, red) tentang transformasi peran mereka nantinya. Dari yang secara umum lebih banyak melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) hingga nantinya dapat juga melaksanakan tugas sebagi pusat konsultasi guru dalam pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah pada umumnya. Sekitar 18 guru dari Pusat Sumber tersebut hadir dalam kegiatan yang diinisiasi oleh RIM, tentu saja dengan uluran tangan dan bantuan dari pihak Pusat Sumber sendiri, kami mengadakan kegiatan singkat sosialisasi dan diskusi tentang pendidikan inklusi. Nah, ini adalah salah satu wacana yang kami angkat untuk menguba

Keniscayaan Sebuah Perubahan (Pendidikan)

Merintis sebuah pergerakan untuk perubahan memang tak pernah dilalui dengan langkah yang mulus, sekalipun sesuatu tersebut mendapatkan sokongoan berupa dana yang melimpah. Karena sejatinya perubahan itu berlangsung perlahan dan memiliki jenjang waktu tertentu. Tak ubahnya seperti ulat yang ingin bertransformasi menjadi kupu-kupu yang indah di taman. Ulat harus melewati masa-masa puasa, menjadi kempompong, hilang dari peredaran untuk sementara waktu, dan jika tiba waktunya akan keluar dari "rumah" yang telah menaunginya tersebut dan menjadi seekor kupu-kupu, yang biasanya indah. Untuk sebuah daerah atau kota besar, seperti Medan atau Banda Aceh kita ambil contoh, isu mengenai perubahan paradigma dan filosofi pendidikan, yang dinamis mengikuti perkembangan zaman yang dilewatinya, program Pendidikan Untuk Semua (Education for All)  dikenal juga dengan Pendidikan Inklusi, masih sangat asing ditelinga sebagian besar para pengambil kebijakan, dinas terkait, hingga guru. Terleb

Keharusan Revolusi dalam Kinerja Seorang Guru

Oke, pembahasan dalam tulisan kali ini masih berkaitan dengan poin-poin yang saya dapatkan ketika mengikuti pelatihan di Bandung tempo hari. Seperti yang saya paparkan dalam artikel sebelumnya, banyak saya temukan poin-poin yang menarik pada kesempatan tersebut, walaupun penyampaian materinya diluar pembahasan materi utama. Saya berencana untuk melakukan tulisan secara estafet, mungkin satu atau dua artikel akan saya tuliskan dengan pembahasan seputar kajian dan masalah pendidikan yang dipaparkan pada acara tersebut, dan ini sangat menarik untuk dibahas bagi kaum "revolusioner" pendidikan. Berhubung jurusan dan pokok kerja yang saya geluti berada dibidang Pendidikan Kebutuhan Khusus, serta seting acara tersebut secara keseluruhan adalah tentang Peran Pendidik (Guru) Khusus, maka pembahasannya juga akan dimulai dalam rangka Pendidikan Kebutuhan Khusus itu sendiri. Namun, saya tidak menafikan konteks Pendidikan secara umumnya. Seperti pada pembahasan artikel sebelumnya

Sistem Pendidikan (Khusus) Kita, hai Indonesia!

Walah walah, sepertinya saya telah agak lama meninggalkan sarang peraduan tarian jemari untuk merangkai kata perkata menjadi tulisan. Terhitung hampir mendekati 2 bulan penuh saya tidak menumpahkan isi pemikiran kedalam sebuah tulisan. Mungkin karena kesibukan, atau mungkin juga karena saya yang enggan menulis. Entahlah, yang penting pagi ini, yang seharusnya tengah malam tadi, saya ingin membuat sebuah tulisan.  Dapat dikatakan kesibukan memang benar dapat menyita segala perhatian, itu pula agaknya telah menyeret saya untuk lebih sibuk untuk lebih mengikuti alur realita di dunia nyata daripada merangkai untaian kata dan menuangkan hasilnya disini, di dunia maya.  Mengenai kesibukan itu sendiri, sejak seminggu yang lalu. Tepatnya sekitar tanggal 1 juni, saya sudah disibukkan dengan undangan untuk mengikuti sebuah Workshop mengenai Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Khusus di Kota Bandung. Tepatnya, tanggal 3 juni saya berangkat ke Bandung. Namun, karena harus memast

Tak Ada Sesuatu yang Instan

Berawal dari realita yang belakangan ini harus saya hadapi, saya kembali tersadar setelah berulangkali mengkaji sebuah kata berikut pemaknaannya, yakni kata Instan. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2002, kata Instan bermakna; langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan. Jika merujuk pada kondisi sosial-masyarakat, kata instan kerap terdengar dalam berbagai situasi dan kondisi, saya ambil contoh Kesukses Instan. Instan disini, tidaklah berarti sedang memasak sesuatu untuk diminum atau dimakan, ya walaupun memakan atau meminum itu sendiri dapat juga dipandang sebuah kesuksesan jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Namun, Instan disini lebih cenderung kepada mengerjakan sesuatu kegiatan yang sangat ringkas, sangat singkat, atau sangat cepat. Nah, kebetulan saya, beberapa bulan kebelakang ini mulai terkena virus-virus serba instan. Mungkin karena terlalu larut dalam re

Saya Memilih Untuk Tidak Memilih

Pesta demokrasi! Begitulah yang sering saya dengar, baca, serta saksikan di media-media seperti Televisi, bahkan dari hingar bingar bisik tetangga. Ya, hari ini Indonesia melalui rakyatnya yang berjumlah kurang lebih 240 juta jiwa memilih. Memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di Kursi "panas" Parlemen, memilih wakil-wakilnya yang telah berulang kali meminta untuk dipilih, memilih wakil-wakilnya yang seperti terkena sambaran petir dalam 2 bulan kebelakang, dengan secara tiba-tiba saja "merakyat" dan berjanji untuk "menyuarakan" suara rakyat yang diwakilinya.  Pada pesta Demokrasi kali ini, rakyat diberikan sebesar-besarnya kebebasan untuk memilih calon-calon wakilnya di Parlemen, kesempatan itu juga seharusnya berbanding lurus dengan kesempatan untuk tidak ikut serta dalam pemilihan. Namun, masih juga ada beberapa pihak yang memaksakan "kewajiban" untuk memilih, dan Saya sendiri Memilih Untuk Tidak Memilih. Beragam argumen, analisa, hin

(Thrilling) Adventure to Sangka Pane

Gambar
Pagi tadi - Saya, Zamrud, Suheri, Sauza dan Ariel - memulai sebuah perjalanan dari pusat Kabupaten Aceh Tamiang menuju sebuah tempat yang memberikan  jamuan panorama alam yang - katanya - masih terbilang sangat alami. Sekitar 50an KM jarak tempuh yang kami lakukan, dan 2 jam lebih yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut. Kurang proporsional memang dengan jarak yang 50an KM ditempuh dengan waktu 2 jam lebih. Namun, jika kalian melihat "medan tempur" yang kami lewati, sungguh sesuatu tersebut dapat dikatakan sangat masuk akal, teramat sangat malah. Perjalanan yang kami lewati teramat melelahkan, menguras kekuatan fisik serta memberikan (sedikit) dampak kesehatan yang buruk. Terang saja, jalan yang kami lalui bagaikan hamparan padang debu yang berliku, menyisakan sedikit saja jalanan yang teraspal, tak sampai 1 KM malah. Perjalanan kami menuju Desa Bengkelang dan Pengidam, daerah yang menawarkan Air Terjun sebagai nilai jual wisata daerah tersebut. Sangka Pane, begitu

Bermodalnya Sebuah Ide atau Gagasan!

Kemarin, hari ahad, dipagi nan cerah juga ditemani oleh cahaya matahari nan gagah, saya dan ayah saling bertukar argumen. Kejadian ini berlatarkan sebuah kandang sapi dan gubuk tempat pengembala menjaga sapi-sapinya tersebut, dalam artian yang sebenarnya. Ya, kami berlaga kata di kawasan kandang sapi! Jika ditelusuri rekam jejaknya mengapa kami tiba di tempat tersebut, yaitu tak lain dari sebuah project wirausaha yang sedang saya garap. Di tempat itu, kami berdua mengumpulkan pupuk kandang untuk nantinya dibawa pulang. Dan dimulailah laga penuh cerita tersebut. Saya yang sebenarnya ingin melakukan hal lain dihari tersebut, yang juga masih terkait dengan project tersebut, mengawali laga dengan berkata kepada ayah "Kenapa gak suruh orang lain aja ngumpulinnya, kan kita bisa kerjain hal lain, yah?" Ya, kurang lebih begitulah percakapan dimulai. Lalu, ayah saya membalas "Ya, kalo mau usaha harus mulai dari yang seperti ini, biar tau bagaimana rasanya melakukan hal

Guru Itu (Wajib) Wirausahawan

Hampir berakhir bulan diawal tahun ini, namun saya belum juga menuliskan bahan lanjutan yang bisa dijadikan rangkaian kalimat membentuk sebuah tulisan yang dapat dinikmati, setidaknya oleh saya sendiri (Haha). Sebenarnya banyak waktu dan beberapa materi yang bisa saya jadikan tulisan, namun belum menemukan timing dan positioning yang tepat . (Halah!) Selain sekarang fokus dengan beberapa bahan yang nantinya angkat saya angkat untuk dijadikan riset, independen jika memungkinkan, saya juga masih sibuk dengan beberapa project lingkungan dan pekerjaan yang saya lakukan. Pekerjaan, ya benar. Saya - setidaknya hingga detik tulisan ini diturunkan - bukan tipikal orang yang suka mencari pekerjaan, dan berharap untuk menjadi pegawai nantinya. Disamping sudah terbiasa dengan kerja lepas, freelance istilahnya, ketika kuliah dulu, saya juga ingin merubah paradigma masyakarat, minimal di daerah saya, bahwa kerja itu harus pegawai/di kantor/di sekolah. Benar, paradigma yang sangat tradisional