Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Apa kabar pembaca sekalian? Mudah-mudahan ditengah pandemi COVID-19, dan kebijakan pemerintah dalam pemutusan rantai penyebaran penyakit yang tidak konsisten ini, kalian dalam keadaan sehat walafiat. Pada artikel yang saya rencanakan untuk ditulis dalam dua bagian ini, saya hendak bercerita tentang rencana melanjutkan studi doktoral, atau lebih spesifiknya mengenai topik apa sebenarnya yang ingin saya teliti lebih lanjut.

Jadi selain berguna untuk melihat sejauh mana pemikiran awam saya tentang dunia pendidikan ini, artikel ini lebih berguna untuk menyortir topik yang akan saya teliti, serta mengklarifikasi pikiran saya atas topik-topik tersebut. 

Jadi, jika kalian merasa familiar dengan topik-topik ini dan mendapati kesalahan berpikir saya, mohon untuk dapat mengoreksinya, ya.

Latar Belakang Pendidikan Saya

Bagi kalian yang belum kenal, saya menyelesaikan sarjana keguruan dibidang Pendidikan Luar Biasa (PLB), bidang yang berkaitan erat dengan ilmu mendidik siswa dengan disabilitas. Secara praktis, para sarjana PLB diharapkan dapat mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau membuka layanan terapi pendidikan.

Disemester akhir perkuliahan, saya mendapat pemahaman lanjutan tentang pendidikan inklusif, yang secara epistemologi dalam konteks Indonesia, berkembang dari sudut pandang kesarjanaan PLB.

Pendidikan inklusif dianggap sebagai pembaharuan konsep lama. Semula, PLB yang kerap diasosiasikan dengan pendidikan untuk siswa dengan disabillitas ditinjau dari segi defisit-medis, menuju mazhab sosio-kultural yang memandang disabilitas merupakan konstruksi sosial. Oleh sebab itu, kini hambatan (permasalahan struktur atau anggota tubuh) dalam gerak, sensori, dan sebagainya dipandang sebagai "korban" dari ketidakadilan, ketimpangan, serta deskriminasi sosial. 

Secara filosofis memang banyak hal baru yang dapat didiskusikan, dari apa yang semula dianggap bukan pakem dalam ilmu mendidik siswa dengan disabilitas. 

Apalagi, dengan masuknya pengaruh ilmu sosiologi kedalam kesarjanaan PLB, yang dahulunya lebih didominasi oleh paradigma medis dan psikologi prilaku (atau lebih dikenal dengan model medis 'medical model of disability'), kini kajian-kajian mengenai disabilitas menjadi lebih luas, misalnya dengan melihat struktur dan relasi sosial dari disabilitas itu sendiri (atau lebih dikenal dengan model sosial 'social model of disability').

Secara praktis, perubahan paradigma medis menuju sosial-humanis ini juga membuka peluang pendidikan formal yang lebih luas bagi siswa dengan disabilitas. Jika dahulu mereka hanya dapat bersekolah di SLB, sekarang mereka mendapat akses untuk bersekolah di SD hingga Perguruan Tinggi pada umumnya.

Namun selama kuliah sarjana, ilmu yang saya dapat ya tidak terlalu jauh berbeda dengan paradigma lama. Alhasil, saya pun berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan lanjutan, yang membahas pendidikan siswa dengan disabilitas dari sisi keilmuan sosial-humanis, dan akhirnya membuat saya melabuhkan pilihan belajar di Monash University dengan mengambil jurusan Inclusive and Special Education.

Selama belajar di sini, saya banyak mendapatkan kajian disabilitas dari paradigma sosial-humanis yang lebih luas. Ditambah lagi dosen-dosen saya juga merupakan golongan peneliti yang sangat banyak menerbitkan jurnal maupun buku yang membahas topik ini.

Jadi, selama hampir dua tahun belajar, saya banyak menyerap ilmu-ilmu sosial untuk studi pendidikan, seperti sosiologi, studi kritis pendidikan dengan perspektif liberalisme, marxisme, feminis, keadilan sosial, dan beberapa sudut pandang pemikiran lainnya.

Selain itu, studi magister di Australia juga banyak menekankan kepada hal-hal yang sifatnya filosofis. Seperti kenapa kurikulum pendidikan itu dibuat demikian? Kenapa guru melakukan apa yang dilakukannya? Apa alasan sejarah, sosialogis, dan psikologis yang menyebabkan perbuatan tersebut lazim dilakukan? Hal-hal tersebut membuat saya bermenung tentang pemahaman apa sih sebenarnya yang saya dapatkan dari SD hingga S-1 dulu, haha. 

Dan hasilnya saya memang banyak terpapar dengan pemikiran yang tidak saya temukan ketika belajar tentang ilmu pendidikan, sehingga membuka peluang untuk mengkaji lebih dalam topik yang "aneh-aneh" tersebut. 

(Calon) Topik Penelitian

Oke, agar lebih mudah mengelompokkan topik dalam studi pendidikan, saya membuat kategori luas sebagai berikut:
  1. Learning Sciences (Studi tentang kegiatan belajar dan pembelajaran). Topik dalam studi ini berkaitan tentang pemahaman bagaimana seseorang belajar, seperti dalam konteks belajar di sekolah, dan juga berkaitan dengan inovasi belajar serta bagaiamana meningkatkan metode dan instruksi pembelajaran.
  2. Education Sciences (Studi tentang [sistem] pendidikan). Topik dalam studi ini lebih luas dari kategori pertama. Teori, kebijakan, serta praktik pendidikan secara umum dapat dimasukkan kedalam studi ini. Misalnya, bagaimana kurikulum dibuat? Siapa yang terlibat dan mendapatkan keuntungan dari kebijakan pendidikan tertentu? dan sebagainya. Dapat dikatakan, cakupan studi ini bersifat makro. 

1. Studi Disabilitas dalam Konteks Pendidikan

Berhubung saya sudah akrab dengan paradigma disabilitas dan telah menghabiskan empat tahun membahas dan berdiskusi dengan kawan mahasiswa dengan disabilitas, sudah wajar jika saya masih menaruh minat untuk mengkaji topik ini lebih dalam terutama dengan konteks ke-Indonesian-an. Hingga saat ini, saya masih tertarik untuk membaca jurnal dan buku yang membahas topik ini, dikarenakan interaksi saya dengan teman-teman disabilitas selama ini. 

Secara kategori, topik ini dikelompokkan dalam Education Sciences, yang banyak menekankan pada kajian relasi sosial antara disabilitas, pendidikan, dengan berbagai perspektif sosial, seperti konstruktivisme, pascamodernisme, dan pascastrukturalisme. Disiplin ilmu yang digunakan sebagai pisau analisa juga sangat beragam, mulai dari politik, ekonomi, bahasa, sejarah, sosiologi, dan lainnya. 

Saya melihat banyak dari teman dengan disabilitas yang mampu dan cakap, namun dengan kondisi sosiokultural masyarakat kita yang cenderung menstigma disabilitas, kesempatan berekspresi dan eksplorasi yang mereka miliki setelah menyelesaikan sekolah - bahkan kuliah - masih terbatas. Untuk itu, saya melihat topik ini masih sangat relevan untuk dibahas, apalagi ketika mengaitkannya dengan paradigma pendidikan inklusif.

2. Pengembangan Pendidikan Inklusif

Sudah selama enam tahun ini saya bergerak dalam pengembangan pendidikan inklusif, baik dari segi akademis dan praktis. Secara akademis, melalui LSM Rumah Inklusi Madani (RIM), saya dan teman-teman melakukan kegiatan seperti penelitian pendidikan dan pengembangan profesi guru-guru dengan mengadakan kegiatan seminar dan lokakarya ke sekolah-sekolah. 

Secara praktis, sekolah yang saya pimpin saat ini, SDIT Darul Mukhlishin, juga sedang berproses menjadi sekolah yang inklusif. Salah satunya dengan menerima siswa dengan disabilitas dan berusaha mengoptimalkan program pembelajaran individual bagi seluruh siswa.

Klisenya pendidikan inklusif di Indonesia adalah kurang adanya bangunan teori yang kuat untuk mendefinisikan, apa sih sebenarnya pendidikan inklusif itu? 

Saya tidak melihat jurnal maupun buku yang membahas asas dan hukum umum mengenai pendidikan inklusif secara mendalam dan sistematis dalam konteks Indonesia. Kesudahannya, saya masih bingung mengimajinasikan seperti apa 'inklusivitas' pendidikan yang ingin kita bangun di Indonesia. 

Jika dilihat di negara-negara penutur Bahasa Inggirs, kerangka teori pendidikan inklusif sangat beragam. Mereka yang sejatinya memiliki pemahaman hukum dan prinsip kebahasaan yang identik saja masih memperdebatkan pendidikan inklusif seperti apa yang diadopsi oleh satu dan negara lainnya. Jadi, memang teori pengembangan pendidikan tersebut tidak semudah menyalin dan menempel istilah, dan menggunakannya di konteks yang berbeda.

Saya sendiri melihat pendidikan inklusif adalah sebagai proses yang terus berlanjut dalam mengidentifikasi penghalang dalam belajar (barriers to learning), serta berusaha meningkatkan partisipasi aktif seluruh siswa dalam kegiatan belajar dan pembelajaran di sekolah. Untuk mengkaji topik ini, pisau analisa yang dapat digunakan adalah Index for Inclusion, yang melihat pengembangan pendidikan inklusif dari tiga pilar utama: budaya, kebijakan, dan praktik (culture, policy, and practice).  Secara karakteristik, studi ini juga masih bersifat Education Sciences.

3. UDL, RTI dan PBIS

Ketiga hal ini merupakan topik besar lainnya, yang sangat tidak mungkin saya jabarkan dalam satu artikel. Sebab, masih-masing hal tersebut memiliki porsi pembahasan tersendiri yang lebih mendalam.

Secara umum, saya melihat ketiga hal tersebut sangat mendukung pengembangan pendidikan inklusif di sekolah. Dan secara karakteristik, ketiga topik ini lebih bersifat Learning Sciences, karena ketiganya dapat digunakan untuk saling mengisi untuk menciptakan iklim dan intervensi belajar siswa. Lebih keren lagi, ketiga hal yang sepertinya berbeda ini memiliki pilar implementasi yang hampir sama, mereka sama-sama didukung dengan 3 (tiga) pilar penyokong.

Universal design for learning (UDL) (Desain Pembelajaran yang Universal) adalah sebuah rancangan yang menggunakan prinsip ilmiah, dalam membantu meningkatkan dan mengupayakan kegiatan belajar dan pembelajaran yang inklusif untuk semua siswa. Tiga prinsip utama yang memandu kegiatan belajar dan pembelajaran dalam UDL adalah kenapa, apa, dan bagaimana siswa belajar (the why, what, and how of learning)

Response to Intervention (RTI) (Respons terhadap Intervensi) adalah pendekatan bertingkat (3 level) dalam mengidentifikasi dan mendukung kebutuhan belajar dan perilaku akademik siswa. Intervensi belajar dan perilaku diawali dengan pemberian instruksi belajar yang berkualitas dan berdasarkan bukti (evidence-based practices)  bagi seluruh siswa di kelas. Dengan asumsi, 80% populasi siswa dapat mengikuti arahan tersebut, lalu 15% lainnya akan mendepatkan intervensi level 2, serta sejumlah 5% siswa akan mendapatkan penanganan level 3 dengan proses yang sangat intensif.

Positive Behavioral Interventions and Supports (PBIS) (Dukung dan Intervensi Perilaku Positif) adalah kerangka kerja yang bertujuan untuk membentuk iklim dan budaya yang kondusif bagi seluruh siswa untuk belajar di sekolah. PBIS menggabungkan data, sistem, serta praktik berdasarkan bukti kedalam tiga level intervensi. Dengan asumsi nilai yang sama dengan RTI, kerangka kerja PBIS berusaha menciptakan  iklim dan budaya sekolah yang kondusif secara berkelanjutan. 

Jika dilihat, UDL dan RTI lebih bersifat dukungan akademik, sedangkan PBIS lebih menjurus kepada budaya dan praktik sosial yang baik. Saya kembali tertarik terhadap topik ini berhubungan dengan pengalaman yang saya rasakan selama setahun terakhir, sejak kembali mengajar di sekolah. Oleh karena itu, ketiga topik ini masih sangat relevan dengan tuntutan profesionalitas serta minat saya untuk dikaji lebih lanjut. 

Oke, pada kesempatan ini, inilah hal-hal yang saya cermati untuk dijadikan (calon) topik penelitian S-3. Namun, masih ada beberapa topik menarik lainnya. Diartikel selanjutnya, saya akan kembali membahas beberapa topik lain yang telah mengambil perhatian saya, yaitu mengenai Kebijakan dan Politik Pendidikan (International Development (Education) and Political Economy), Teknologi Pendidikan (EdTech), Data dan Pendidikan, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Sudut Pandang Islam dalam Setiap Kajian Tersebut.

Sampai berjumpa diartikel selanjutnya. Tetap sehat, ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TOEFL iBT dan sebuah perkenalan dengan NAK

Rokok dan Saya