Sistem Pendidikan (Khusus) Kita, hai Indonesia!

Walah walah, sepertinya saya telah agak lama meninggalkan sarang peraduan tarian jemari untuk merangkai kata perkata menjadi tulisan. Terhitung hampir mendekati 2 bulan penuh saya tidak menumpahkan isi pemikiran kedalam sebuah tulisan. Mungkin karena kesibukan, atau mungkin juga karena saya yang enggan menulis. Entahlah, yang penting pagi ini, yang seharusnya tengah malam tadi, saya ingin membuat sebuah tulisan. 

Dapat dikatakan kesibukan memang benar dapat menyita segala perhatian, itu pula agaknya telah menyeret saya untuk lebih sibuk untuk lebih mengikuti alur realita di dunia nyata daripada merangkai untaian kata dan menuangkan hasilnya disini, di dunia maya. 

Mengenai kesibukan itu sendiri, sejak seminggu yang lalu. Tepatnya sekitar tanggal 1 juni, saya sudah disibukkan dengan undangan untuk mengikuti sebuah Workshop mengenai Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Khusus di Kota Bandung. Tepatnya, tanggal 3 juni saya berangkat ke Bandung. Namun, karena harus memastikan beberapa berkas sebagai syarat administrasi kegiatan dan tetek bengek perjalanan, jadilah saya harus mempersiapkanya sejak tanggal 1 juni tersebut.

Workshop yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Khusus Layanan Khusus (Dirjen PKLK) tersebut dihadiri oleh perwakilan guru-guru Sekolah Sumber (SLB) Pembina yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara tercinta, jumlah tepatnya 75 sekolah yang diundang pada kesempatan tersebut.

Banyak poin-poin menarik yang saya dapati selama mengikuti rangkaian kegiatan tersebutm, baik diluar jadwal kegiatan sekalipun. Poin-poin tersebut kebanyakan malah tidak berkaitan langsung dengan tema pokok kegiatan yang diberikan, berhubung hampir sebagian penuh materi yang disampaikan telah saya dapati dibangku perkuliahan.

Pada kegiatan tersebut, terdapat sebuah sesi sharing pengalaman mengenai praktek pendidikan di lapangan yang dikomandoi oleh satu-satunya PhD Pendidikan Kebutuhan Khusus (PLB) yang linear dari S1 hingga S3-nya di Indonesia.

Beliau Menceritakan, bahwa Sistem Pendidikan Indonesia secara umum, dan khusus, cq. para Pendidik di Indonesia telah kehilangan gairah alaminya sebagai ujung tombak pengarah keilmuan dan tata etika bagi siswa-siswa secara keseluruhan. Sistem Pendidikan kita telah terombang-ambing ditengah sahara nan gersang yang tak satupun pengembara hendak melintasinya.

Sistem kita diperparah dengan diadopsinya (hampir) segala hal berbau kemodernan ala barat kedalam Sistem itu sendiri, tercermin dari tuntutan Pendidikan ketika dimana para siswa hanya diakui dengan kemampuan inteligensi (kognitif) semata, ya UN salah satu contoh klimaksnya. Sistem kita juga telah terpelintir sedemikian rupa sehingga tidak mengakui fitrah keberagaman yang dimiliki oleh setiap anak, padahal sudah selayaknya manusia itu berbeda satu sama lainnya, bahkan bila anak tersebut dibandingkan dengan kembarannya sekalipun. Sistem kita telah mengkotak-kotakkan anak satu sama lainnya, sekeras apapun kita menolak untuk tidak mengakui hal tersebut!

Apalagi jika harus berbicara mengenai Anak dengan Kebutuhan Khusus (ABK) baik pada segi yang sifatnya Akademis, dan terlebih yang menjurus kepada kebutuhan Fisik.

Pendidikan kita seperti yang sudah saya terangkan, mengkotak-kotakkan anak dan memaksa mereka harus sesuai dengan kotak yang telah "dibuat" tersebut, meskipun anak sama sekali tidak pas dan cocok dengan kotak tersebut. Dalam keilmuan Pendidikan Khusus, setiap anak, tanpa terkecuali, haruslah dididik dan dilayani dengan kemampuan awal yang dimilikinya, karena setiap anak PASTI memiliki kebutuhan khusus spesifik dalam kegiatan belajarnya, sekalipun anak tersebut "normal" secara fisik. Untuk itu dibutuhakan sebuah Identifikasi dan Asesmen yang komprehensif sebelum anak diberi perlakuan berupa layanan Pendidikan.

Namun, itu semua hanya konsep yang matang pada sebuah teksbook perkuliahan. Karena apa? Ya, lebih karena Sistem Pendidikan yang telah cedera dan cenderung bobrok tersebut telah menjalar bak akar sebuah pohon yang berusia puluhan tahun. Hingga bukan hanya Anak yang menjadi korban bobroknya Sistem tersebut, Guru! Guru juga menjadi korban sistematis kerancuan dan kebobrokan Sistem itu sendiri. Guru yang harusnya menjadi ujung tombak sebuah Sistem Pendidikan yang mendidik calon-calon pemimpin masa depan telah larut dalam rutinitas menjemukan yang dibungkus dalam sebuah kegiatan, yang selayaknya, syarat nilai dan pengabdian yakni mengajar. 

Guru dituntut untuk tidak kreatif sehingga hanya lebih mementingkan acuan dan panduan yang tertuang dalam sebuah Kurikulum galau yang terus berganti layaknya penggantian seorang punggawa lapangan dalam permainan sepak bola, itupun yang bersifat free transfer. Guru telah kehilangan sisi seorang pendidik kreatif yang harusnya berfokus pada kualitas layanan dan pendidikan yang diberikannya kepada siswa, yang haus akan bimbingan dan keilmuan.  

Ya, inilah sebercak poin menarik yang saya dapati selama mengikuti kegiatan itu. Jika begitu, bagaimana kedepannya nanti keadaan Sistem Pendidikan (Khusus) Kita, hai Indonesia!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Hidup dan Beradaptasi

Rokok dan Saya