Saya Memilih Untuk Tidak Memilih

Pesta demokrasi! Begitulah yang sering saya dengar, baca, serta saksikan di media-media seperti Televisi, bahkan dari hingar bingar bisik tetangga. Ya, hari ini Indonesia melalui rakyatnya yang berjumlah kurang lebih 240 juta jiwa memilih. Memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di Kursi "panas" Parlemen, memilih wakil-wakilnya yang telah berulang kali meminta untuk dipilih, memilih wakil-wakilnya yang seperti terkena sambaran petir dalam 2 bulan kebelakang, dengan secara tiba-tiba saja "merakyat" dan berjanji untuk "menyuarakan" suara rakyat yang diwakilinya. 

Pada pesta Demokrasi kali ini, rakyat diberikan sebesar-besarnya kebebasan untuk memilih calon-calon wakilnya di Parlemen, kesempatan itu juga seharusnya berbanding lurus dengan kesempatan untuk tidak ikut serta dalam pemilihan. Namun, masih juga ada beberapa pihak yang memaksakan "kewajiban" untuk memilih, dan Saya sendiri Memilih Untuk Tidak Memilih.

Beragam argumen, analisa, hingga "fatwa" dari pihak-pihak yang mengharuskan rakyat untuk memilih dalam pesta Demokrasi ini. Pertanyaannya, memang haruskah? Keharusan yang berdasarkan indikator apa? Logika manusia sajakah? atau Dalil Tuhan yang coba untuk "dipaksakan"? Inilah, sedikit, argumen dari saya yang memilih untuk berseberangan dengan analisa, hingga "fatwa" para peserta pesta Demokrasi.

Pertama-tama, tanpa mengurangi toleransi perbedaan yang kita miliki, saya selaku Muslim selayaknya, berpikir, berbicara, bertindak sesuai koridor Muslim itu sendiri, yakni berdasarkan Perintah Allah dalam Al-qur'an dan tuntunan Rasulullah saw dalam Sunnah-sunnah beliau. 

Islam tidak mengenal yang namanya Sistem Demokrasi dalam bernegara, namun dalam Islam jelas adanya unsur-unsur demokrasi itu sendiri. Islam jelas tidak hanya meninggalkan tata cara menghamba kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama Manusia, lebih jauh dari itu Islam meninggalkan Tata kelola masyarakat yang dikenal dengan Sistem Khilafah, dengan seorang Khalifah sebagai pemimpinnya.

Fakta sejarah membuktikan bagaimana Sistem Khilafah dapat berjaya di muka bumi, tak kurang lebih 1300 tahun sistem tersebut menjadi sistem yang dianut oleh hampir sebagian penduduk Bumi yang beragama Islam. Keberhasilan sistem ini juga yang meninggalakan peradaban yang tak kalah majunya, bahkan kekayaan peradaban Islam dengan sistem Khalifahnya masih banyak diteliti oleh para ahli hingga saat ini. Dan semuanya harus berakhir, dengan datangnya bangsa Imperialis yang meluluh lantakkan tatanan perdamaian manusia yang telah ada, dan memaksakan sistem mereka keseluruh penjuru dunia. Terakhir, mereka memaksakan Sistem Demokrasi sebagai alat imperialisme modern. 

Dengan mengacu argumen di atas, pudarlah segenap argumen mengenai keharusan berpartisipasi dalam pesta demokrasi, setidaknya bagi saya pribadi.

Banyak kita, setidaknya saya, saksikan sendiri ketimpangan bagaimana rusaknya lingkungan dan masyarakat ketika berusaha "memaksakan" penggunaan Sistem Demokrasi. Tak usah jauh, ketika masa kampanye beberapa saat yang lalu, banyak kita saksikan pohon-pohon tak berdosa merasakan bagaimana sakit dirinya dipaksa untuk "berpartisipasi" dalam pesta Demokrasi, ya banyak kita lihat foto-foto para caleg yang terpancang di pepohonan tersebut, tidak sampai disitu, pemandangan yang selayaknya asri juga menguap seperti terkena wabah penyakit mematikan, berubah dengan wajah-wajah tak dikenal!

Apakah pemerintah melakukan pembiaran terhadap prilaku tersebut? Sebenarnya ada peraturan yang mengatur kampanye yang baik. Namun apa boleh dikata, peraturan tinggallah peraturan, toh menarik perhatian untuk mendulang suara sepertinya lebih harus dilakukan. Terlepas prilaku tersebut memberikan dampak yang tidak baik bagi lingkungan dan masyarakat. Dengan fakta yang seperti ini, ketika lingkungan dengan mudah dirusak oleh mereka, apakah pantas mereka untuk dipilih mewakili suara-suara rakyat, yang mana mendambakan perubahan yang lebih baik terjadi dalam kehidupannya? Mungkin, dengan segenap ilmu yang pembaca miliki dapat menjawab pertanyaan sederhana tersebut.

Belum lagi dengan ketimpangan lain, misalnya, beberapa Rumah Sakit telah menyediakan ruang khusus bagi caleg-caleg yang mengalami gangguan jiwa pasca-pileg, yang gagal mendulang suara dan terpuruk dalam kekalahan yang telah meyeret harta kekayaan, bahkan- mungkin- ada juga caleg yang menang namun karena saking kegirangannya jiwanya menjadi terganggu. Dengan fakta yang terpampang ini saja seharusnya kita, setidaknya saya, dapat melihat bagaimana rusaknya Sistem Demokrasi itu sendiri jika terlalu dipaksakan. Bahkan dengan pemaksaan itu sendiri, pada hakikatnya telah mencederai sendi-sendi demokrasi itu sendiri.

Ironis, melihat sistem yang terluka dengan sistemnya sendiri tersebut diharapkan dapat memberikan perubahan yang lebih baik!

Ada juga selentingan yang berbicara, keharusan memilih partai Islam, agar umat muslim dapat memiliki pemimpin yang muslim. Pertanyaan saya sendiri adalah masihkah ada pemimpin yang murni berideologi Islam? Jika ada, apakah partai yang menaunginya benar murni berideologi Islam? Dalam beberapa bulan belakangan, saya sempat menaruh harapan pada partai islam, namun setelah melihat kenyataan, dengan perubahannya pola perjuangan partai-partai tersebut demi mendulang suara, harapan saya pun luluh lantak! Kita sendiri menyaksikan bagaimana partai-partai Islam menggunakan isu-isu Pluralisme dalam menarik simpatisan konstituen, bagaimana partai Islam sendiri mencalonkan calon-calon yang non-Islam sebagai caleg yang diusungnya, sedangkan dalam Al-qur'an sendiri sudah dijelaskan untuk memilih pemimpin berdasarkan keislamannya. 

Dengan fakta tersebut, hilanglah ideologi tauhid yang diusung oleh partai Islam tersebut. Bagaimana pula mereka mencalonkan caleg yang berideologi, contoh Trinitas, dalam sebuah partai yang bertauhidkan Lailahaillallah? Sungguh sebuah anomali yang terjadi, namun luput dalam pandangan sebagian diantara kita.

Memang, banyak kader-kader grassroot, yang semangat mendakwahkan Islam sebagai way of life, bahkan dalam berpartai politik. Namun, ya itu tadi, ketika suara keder bawah tak bersetali tiga uang dengan pendapat para elit-elitnya. Bahkan cenderung berseberangan. Setidaknya itu yang saya lihat dan baca dalam arus perpolitikan yang terjadi saat pesta Demokrasi ini.

Nah, sekarang banyak yang berkata jika tidak ikut memilih, berarti saya tidak ikut dalam pembangunan negara, dalam memajukan negara, untuk Indonesia yang lebih baik, dan dalam hal-hal lain yang boleh saja dilontarkan untuk membredeli saya. 

Namun, pernyataan-pernyataan tersebut sepertinya tak bertuankan fakta dan kaidah ilmiah.

Saya membayar pajak, bahkan ketika saya bukan seorang pegawai negeri! Apakah kontribusi saya ini tidak termasuk dalam hal pembangunan negara? 

Saya mengadakan kegiatan-kegiatan yang, insyaAllah, bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa dengan project-project yang saya jalankan dalam bidang pendidikan! Apakah ini tidak termasuk kontribusi saya dalam memajukan bangsa?
Dan sekelumit argumen lain yang sama sekali tidak rasional, yang dapat saya patahkan, jika hanya menilai tidak ikut sertanya saya dalam memilih, berarti saya tidak berkontribusi bagi negara. Sungguh lucu!

Adalagi sekelumit argumen, jika khilafah tidak bisa dijalankan jika tidak memimpin negeri, jika tidak aktif dalam parlemen, jika tidak memilih dalam pileg, dsb. Haloo!! Apakah Rasulullah berparlemen untuk menyebarkan Islam? Apakah Rasulullah menggunakan Sistem Demokrasi ketika Islam tampil memimpin peradaban jazirah arab? Tidak! Rasul menggunakan metode dakwah (baca: memberikan pendidikan) bagi kader-kadernya (baca: sahabat) untuk menyebarkan Islam. Tak lupa Rasul terus meminta perlindungan dan petunjuk dari Allah (baca: doa) agar dapat menyebarkan Islam. Bahkan dalam kurun waktu kurang lebih 13 tahun berdakwah di bumi Mekkah, Rasulullah hanya mendapatkan pengikut yang hanya beberapa puluh orang. 

Apakah ada yang dapat menyangkal fakta sejarah tersebut? Namun, dengan metode tersebut, dunia menyaksikan bagaimana perdaban Islam dapat bersinar terang selama kurang lebih 1300 tahun!

Nah, sebagai penutup, mari kita ilustrasikan cerita "fiksi", yang sebenarnya sering terjadi mewarnai ajang pesta Demokrasi beberapa tahun terakhir. 

Katakanlah, pileg telah selesai. Semua keputusan telah disetujui, pihak-pihak yang menang mendapatkan kesempatan untuk duduk di Kursi "panas" Parlemen. Sedangkan pihak yang kalah sportif mengakui kemenangan lawan politiknya. Dunia pun menjadi indah, pemerintahan berjalan dengan baik, semua pihak senang dengan keputusan yang terjadi, Masyarakat pun dapat menjalani kehidupannya dengan nyaman.

Namun, itu hanya Utopia belaka. Tak belajarkah kalian dari fakta-fakta sejarah, ketika ada pihak yang menang, pihak yang kalah dengan segenap simpatisannya tidak setuju dengan hal tersebut. Melakukan demo besar-besaran yang tak sedikit berujung anarki, merusak fasilitas publik, merusakan ketenangan masyarakat lain, dan segenap prilaku merusak lainnya. Jika ini yang terjadi, dan biasanya terjadi, apakah dengan mencoblos surat suara dan berpartisipasi dalam pesta Demokrasi masih dapat dikatakan memajukan negara dan bangsa? 

Dapatkan dikatakan para caleg yang kalah "perang" lantas terganggu jiwanya, hingga masuk dalam salah satu ruangan yang telah disediakan RSJ sebelumnya. Lalu, membuat cemas sanak saudaranya, dan menimbulkan simpati berlebihan dari simpatisannya yang berujung seperti ilustarsi di atas. Masihkan hal ini dikatakan partisipasi dalam berkontribusi dalam bernegara? 

Duh, kemana logika berpikir dan hati nurani kalau demikian! Bukankah lebih baik, tidak memilih namun tetap mendukung pemerintahan, selama perintahnya tidak melanggar aturan Al-qur'an dan As-sunnah, lalu berkontribusi dengan memberikan aksi nyata dalam masyarakat, sembari terus berdakwah dan berdoa semoga Allah mendamaikan dunia dengan sistem yang telah diberikan-Nya? Bukankah, menurut saya, itu lebih baik?

Oleh sebab itu, sekali lagi, Saya Memilih Untuk Tidak Memilih!

Komentar

  1. Balasan
    1. waah..pohon pun siruh ikut milih ya mas bro..

      haaa

      syapun hari ni memilih untuk tidak memilih..
      :D

      Hapus

Posting Komentar

Dipersilahkan tanggapannya

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Hidup dan Beradaptasi

“Short Time” di Kuala Lumpur