Alumni Australia, Proyek Global, dan Menjadi Kepala Sekolah

Wah, sudah lama sekali saya tidak menulis diblog ini.

Tulisan terakhir, Seberapa Berani Kau Bermimpi, yang bertanggal 29 Desember 2015 itu, adalah cerita terakhir yang saya bagikan sebelum saya memulai perkuliahan di Monash University, Australia. Soalnya, masa-masa belajar di Australia banyak dihabiskan untuk membaca dan menulis tugas kuliah, sih.

Terutama tentang membaca. Saya rasa selama dua tahun kuliah di sana, jumlah bacaan saya baik yang bergenre ilmiah maupun tidak, jauh lebih banyak ketimbang empat tahun saya berkuliah sarjana. Jadi, saya sedikit memahami kenapa pemikiran-pemikiran hebat subur dan berkembangan di negara-negara bermazhab liberal arts seperti di Australia.

Mari kita hitung secara matematis. Dijurusan Master of Education in Inclusive and Special Education total ada delapan mata kuliah. Empat ditahun pertama dan sisanya ditahun kedua. Masing-masing mata kuliah memiliki jumlah tugas berupa esai akademik yang variatif.  Tapi, katakanlah, rata-rata satu mata kuliah diharuskan menulis dua buah esai sebagai syarat kelulusan. Jadi, total ada 16 esai akedemik yang sudah saya kerjakan selama studi magister.

Di Australia sendiri, masing-masing esai biasanya memiliki syarat-syarat tertentu, salah satunya word count alias jumlah kata. Kalau dikira-kira, satu esai akademik ditulis dengan jumlah 2.000 kata. Jika 16 esai dikali 2.000 kata, kira-kira saya sudah menulis esai dengan total 32.000 kata.

Nah untuk sumber bacaan, saya pribadi memiliki jumlah minimal buku atau jurnal ilmiah yang harus dilahap sebelum bisa dituangkan kedalam tulisan akademik. Seperti yang kalian ketahui, literatur merupakan "bahan bakar" sebelum menulis, dan jumlah bahan bakar yang dibutuhkan tentu bergantung dengan "jarak tempuh" tulisan, bukan begitu?

Untuk bisa menulis esai 2.000 kata secara mendalam, saya membutuhkan sekitar dua atau tiga buku dan 10an jurnal ilmiah yang paling relevan. Ingat, yang paling relevan. Artinya, saya harus menyortir lagi sumber-sumber literatur, biasanya berkisar diangka 5-8 buku dan 30-40an jurnal. Nah, mungkin karena hal ini saya jadinya mengurangi intensitas nge-blog. Ya, hitung-hitung juga ini kesempatan untuk mendalami serta mengevaluasi kembali pemikiran-pemikiran saya, baik mengenai pendidikan maupun isu-isu global secara umum.

Ngomong-ngomong tentang pemikiran, tentu saja banyak hal-hal yang ingin saya perbarui mengenai apa-apa yang pernah saya tulis dimasa awal blog ini. Contohnya ditulisan tentang Saya Memilih Untuk Tidak Memilih. Bukan, bukan tentang memilihnya. Karena sampai saat ini, saya masih berpegang pada premis awal tersebut, kok. Saya tidak melihat adanya sistem/kelembagaan politik demokrasi yang dapat berjalan dengan baik di negeri ini. Saya melihat hal-hal itu semu belaka, permainan elit-elit, kalau tidak mau dikatakan oligarki politik, tidak lebih.

Salah satu poin yang ingin saya revisi salah satunya tentang anarki. Selama kuliah, saya membaca beberapa literatur mengenai anarkisme, dan salah satu pemikir kontemporer studi ini yang saya baca sebut saja Atok Chomsky Karena bacaan-bacaan tersebut, saya malah melihat beberapa poin dalam studi anarki sangat tepat dalam menggambarkan kondisi politik nasional maupun global. Tapi, sampai disini saya belum mengaku menjadi seorang anarkis, ya!

Dan mengenai kontribusi terhadap pengembangan bangsa, sampai saat ini saya tetap dan akan terus berusaha untuk mengambil peran. Sepulangnya saya dari Australia, saya mendapatkan hibah dana dari Australia Awards in Indonesia untuk Building Inclusive School in Aceh alias proyek BISA!

Dalam rangkaian kegiatan ini, saya berusaha memberikan gambaran mengenai pengembangan pendidikan inklusif di empat sekolah dasar di Aceh Tamiang, Aceh, serta menuliskan persepsi dari kepala sekolah dan guru mengenai pendidikan inklusif. Tulisan ilmiahnya saya publikasikan disini.

Disamping aktif di Rumah Inklusi Madani, LSM yang menjadi kendaraan saya untuk mendalami dan membagikan pemahaman saya tentang dunia pendidikan, saya juga berkontribusi dalam membagikan ilmu teknologi digital dengan bekerja di sebuah perusahaan IT. Tulisan-tulisan saya mengenai dunia internet dan sejenisnya, dapat dibaca lebih lanjut disini dan disini.

Jadi intinya, saya tetap berpegang pada premis bahwa berkontribusi dalam pengembangan bangsa, ya, tidak berkorelasi dengan menjadi golput.

Dan untuk saat ini, puncak kontribusi saya adalah menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah dasar swasta. Benar, kalian tidak salah baca, kepala sekolah! Saya tidak pernah berpikir sebelumnya untuk mengemban tugas ini. Paling banter, dimasa depan saya melihat diri sebagai peneliti sosial. Kalaupun harus menyematkan sebuah nama profesi, mungkin dosen. 

Berikut sedikit latar belakang mengenai penugasan saya di SDIT Darul Mukhlishin. Saya sudah cukup lama aktif dalam beberapa kegiatan penting di sekolah ini. Contohnya, ketika sekolah melakukan rekrutmen guru, saya diundang untuk ikut menyeleksi calon guru. Saya juga memberikan beberapa seminar mengenai pendidikan inklusif bagi guru dan tenaga kependidikan di sekolah, dan sering berdiskusi dengan guru pendamping anak berkebutuhan khusus. Ya, sekolah ini melayani siswa dengan disabilitas/berkebutuhan khusus.

Dibulan Juni 2019, waktu itu saya masih bekerja di perusahaan IT, kepala sekolah yang lama berbincang dengan saya mengenai kegiatan perdana akreditasi sekolah. Karena saya bekerja dibidang IT, beliau bertanya tentang pembuatan website resmi sekolah untuk mendukung proses akreditasi.

Dalam dikusi tersebut, tiba-tiba beliau menawarkan untuk menjadi kepala sekolah, berhubung beliau tidak bisa merangkap jabatan sebagai aparatur sipil negara di sekolah swasta. Saya terkejut dan menolak dengan beberapa pertimbangan.

Saat itu, saya masih bekerja di perusahaan yang tugas pekerjaannya sangat demanding. Selain itu, sehabis kontrak nanti, saya berencana magang disalah satu lembaga UN, seperti UNESCO atau UNICEF, dan juga rencana melanjutkan studi doktoral.

Dan sesudahnya, pembicaraan mengenai menjadi kepala sekolah untuk membantu proses akreditasi ini kembali terjadi, kali ini dengan organ inti yayasan yang menaungi sekolah tersebut. Dan qadarullah, saya akhirnya menerima tawaran tersebut, untuk membantu proses akreditasi dan menjalankan program-program sekolah setidaknya untuk satu tahun kedepan.

Saya resign dari perusahaan, menolak posisi magang di UNESCO Jakarta, yang pada hari pertama orientasi kerja di sekolah menyatakan menerima saya, dan menunda rencana studi doktoral diakhir tahun 2019.

Nah, inilah sedikit cerita yang dapat saya bagikan untuk saat ini. InsyaAllah, kedepannya akan ada cerita-cerita lain mengenai kehidupan, pekerjaan, dan keluarga. Dan ngomong-ngomong tentang keluarga, di Oktober 2017 saya resmi menjadi seorang Ayah, he he.

Sampai jumpa ditulisan lain dan untuk saat ini tetap #DiRumahAja dulu yaaa!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

TOEFL iBT dan sebuah perkenalan dengan NAK

Rokok dan Saya