World 'Disability' Day? Think Again!!

Waaah, sepertinya cukup lama saya tidak memandangi layar laptop seraya membaca beberapa informasi dan berita serta menyebarkan 'temuan' tersebut melalui laman blog saya ini. Ya, beberapa minggu terakhir saya cukup memiliki banyak kesibukan (sendiri) yang mengakibatkan hilangnya akses saya untuk menulis. Dimana dari 2 minggu belakang saya sibuk bolak-balik Aceh Tamiang-Banda Aceh, hingga akhir minggu kemarin saya juga bolak-balik Aceh Tamiang-Medan, dan saya kembali melakukan aktivitas touring dengan sepeda motor yang sukses meredam rindu saya akan nikmatnya berkendara ria. Walaupun kondisi cuaca dibeberapa daerah di pulau Sumatera tidak begitu kondusif, yang juga membuat kondisi kesehatan tubuh saya naik turun.

Dalam kesempatan kali ini saya tidak akan membahas 'penderitaan' yang saya alami berhubung musim - yang katanya - pancaroba ini, dimana kondisi alam yang bergejolak dari mulanya cerah gerah tiba-tiba hujan tumpah ruah, dan beragam kondisi alam lainnya. Hari ini, tepat tanggal 3 Desember 2013, saya akan membahas mengenai "United Nations' International Day of Persons with Disabilities" atau bagi sebagian praktisi pendidikan inklusi dikenal dengan "World Disability Day". 

Kenapa saya ingin membahas mengenai 'hari' tersebut? Ya, ini semua - sedikit banyak - ada berkaitan mengenai pendidikan inklusif yang diterapkan di Indonesia, Aceh khususnya. Serta saya, sebagai salah seorang yang mengambil bagian untuk mensukseskan program kemanusiaan ini.

Saya tidak mempermasalahkan 'hari' yang dicanangkan - yang katanya dipopulerkan oleh Amerika Serikat (USA) pada tahun 1992 - sebagai suatu perayaan  untuk mempromosikan kaum 'disability', untuk mengembalikan hak-hak mereka, memberikan dukungan serta memberikan informasi akan kemampuan yang dimiliki oleh kaum - yang katanya - 'disability' tersebut. Saya juga tidak mempermasalahkan mengenai siapa pencetus hari tersebut, kegiatan apa saja yang diadakan dihari tersebut, dan sebagainya. Disini saya hanya ingin menyikapi mengenai konsep kata 'disability' yang digunakan sebagai penanda hari tersebut yang menurut saya kurang - tidak begitu - humanis, tepat, dan mengindikasikan (kepada tindakan) deskriminasi. 

Jika kita menelaah istilah 'disability' tersebut, maka kita akan menemukan dua buah padanan kata yakni 'dis' yang bermakna ketidak mampuan, terpisah, serta 'ability' yang bermakna kemampuan, usaha. Jika kita memaknai istilah 'disability' maka dapat dimaknai sebagai ketidak mampuan. Nah, jika kita telah membahas sesuatu atau seseorang menurut 'ketidak mampuan'-nya, lantas apa yang ingin ditonjolkan? apalagi sekarang Dunia secara umum, serta Indonesia - sejak tahun 2003 - gencar mempromosikan masyarakat inklusi atau dalam ruang lingkup pendidikan dipromosikan sebagai pendidikan inklusi. 

Pendidikan Inklusi - atau Inklusi - dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun kondisi - lingkungan - yang terbuka tanpa memandang keberagaman manusia yang berada dalam lingkungan tersebut, dengan mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya. Singkatnya, Inklusi itu melihat dan menghargai perbedaan. Dengan begitu, kita melihat (seorang) manusia berdasarkan perbedaan (differ) serta kemampuan (ability), yang jika diperistilahkan menjadi (different ability) atau istilah gaulnya difabel, yang dimiliki oleh manusia tersebut, dan itu merupakan sebuah fitrah yang diberikan oleh Allah S.W.T yang menciptakan keberagaman bagi makhluknya. 

Jadi, jika kita - yang katanya - mendukung pergerakan Inklusi ini, agar dapat tercipta dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus melihat manusia berdasarkan perbedaan kemampuan (difabel) bukan berdasarkan ketidak mampuan (disability). Jika kita inklusi, maka ketika berinteraksi dengan seseorang yang mengalami hambatan pengelihatan, kita akan menyadari perbedaan kemampuan yang dimiliki orang tersebut untuk melihat, yakni orang tersebut 'melihat' dengan perabaan serta pendengarannya (difabel), bukan berdasarkan ketidakmampuan melihat karena kebutaan (disability) orang tersebut. Jika kita inklusi, maka ketika berinteraksi dengan seseorang yang mengalami hambatan pendegaran, kita akan menyadari perbedaan kemampuan yang dimiliki orang tersebut untuk mendengar, yakni orang tersebut 'mendengar' dengan mulut serta gerakan isyarat (baik seluruh tubuh atau (hanya) tangan), bukan berdasarkan ketidakmampuan mendengar karena tuli atau kerusakan organ pendengaran orang tersebut. Begitu juga ketika berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya, dengan segalam macam beragam kemampuan - baik fisik, mental, sosial, dsb - yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta kepada dirinya.

Nah, jika berbicara inklusi masih menyatakan Happy 'World Disability Day'? Think Again!! I Say Happy World Difability Day! untuk seluruh praktisi yang berkecimpung dalam dunia inklusi dan orang-orang  yang memiliki perbedaan ability! Semoga dengan keberagaman (kemampuan) semakin menambah warna yang ada dalam kehidupan dan dapat menciptakan kerukunan kehidupan. Bagaimana denganmu?


Komentar

Posting Komentar

Dipersilahkan tanggapannya

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Hidup dan Beradaptasi

“Short Time” di Kuala Lumpur