1 Tahun Menjadi Kepala Sekolah dan Cerita Kehidupan Selama Masa Pandemi COVID-19

Per 1 Juli 2020 kemarin, genap satu tahun saya menjalani tugas menjadi kepala sekolah di SDIT Darul Mukhlishin. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama tersebut, banyak hal terjadi yang menambah pengalaman saya dalam merencanakan, mengatur, serta memimpin program pendidikan yang kami berikan dalam konteks sekolah dasar.

Antusias untuk melakukan beragam pembaharuan kegiatan belajar dan pembelajaran, serta mengoptimalkan program baik yang sudah berlangsung juga berada pada tingkat yang sedang tinggi-tingginya. Namun, 15 Maret 2020 dimulailah kegelisahan pendidik, sehubungan dengan keluarnya Surat Edaran Pemda Aceh Tamiang terkait proses Belajar dari Rumah (BDR).


Sebenarnya, tidak ada keberatan yang berarti dari pihak sekolah kami jika pembelajaran dilakukan secara daring selama dua minggu untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Bahkan, kami antusias membuat proyek BDR menggunakan metode daring secara penuh. 


Di hari pertama BDR secara daring dilaksanakan, banyak respon positif dari orang tua terkait model belajar seperti ini. Dapat dimaklumi, belajar dengan Google Classroom dan konferensi video adalah hal yang baru bagi sekolah dan orang tua. Dan karena proyek BDR ini sudah dirancang sedemikian rupa, tidak terlalu banyak kendala teknis yang terjadi.


Namun, dua minggu pun berlalu dan kebijakan BDR diperpanjang hingga setidaknya sampai selesai libur Idul Fitri. Dan setelah masa-masa dua minggu itu berlalu, mulailah terjadi hal yang paling mendasar dalam kegiatan belajar mandiri secara daring, kebosanan. 


Ya, benar sekali. Tingkat partisipasi di beberapa kelas mulai menurun. Bahkan ketika kawan-kawan guru sudah melakukan improvisasi dengan melakukan gamifikasi pembelajaran, tetap saja hal itu tidak bisa mendongkrak semangat anak-anak untuk belajar daring seperti di awal dahulu. Hal ini, juga diperparah dengan kondisi infrastruktur (serta infrakultur) belajar daring yang telah saya bahas ditulisan lain.


Memasuki bulan ramadhan, sekolah kami tidak lagi memfokuskan pembelajaran untuk mengejar kurikulum. Sebaliknya, kami lebih fokus kepada pembelajaran tahfiz serta tadarus harian ditambah dengan penguatan pembelajaran karakter 5S (Salam, Sapa, Senyum, Santun, dan Saudara) yang menjadi dasar kegiatan di sekolah kami. 


Dengan kegiatan ini, kami bisa sedikit bernafas lega karena fokus anak-anak beralih kepada pembelajaran Al-Quran yang dilakukan dengan video konferensi dan/atau pesan suara. 


Di penghujung Ramadhan dan mendekati hari Idul Fitri, saya pesimis pembelajaran tatap muka di sekolah dapat berlangsung, mengingat kasus COVID-19 di Indonesia sedang naik-naiknya. Hal ini diperparah dengan kurangnya inisiatif yang strategis dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menangani hal ini. Malah, banyak sekali kebijakan kontra-produktif yang lahir. Apalagi dari gelagatnya, pemerintah kita lebih fokus kepada pemulihan ekonomi ketimbang kesehatan publik. Dan benar saja, sehabis lebaran kembali keluar surat edaran yang menyatakan BDR diperpanjang hingga akhir semester genap tahun ajaran 2019/2020. 


Kebosanan anak-anak BDR secara daring, orang tua yang sudah kewalahan karena harus bekerja di siang hari dan menjadi tutor di malamnya selama berbulan-bulan, infrastruktur BDR yang tidak mumpuni, serta sekelumit permasalahan lain yang menyebabkan BDR secara daring tidak dapat berjalan dengan efektif. 


Hal ini diperparah dengan adanya opini yang saya dengar beredar di masyarakat, seolah-olah ada “pembodohan” yang secara sengaja dilakukan oleh pemerintah, dengan mengizinkan tempat wisata dan pusat perbelanjaan dapat dibuka, sementara sekolah ditutup. 


Saya sendiri yang secara pribadi berkeyakinan bahwa COVID-19 ini tidak bisa dianggap enteng, merasakan dilema dengan realita ini. Disatu sisi, saya tidak menginginkan anak-anak terjangkit penyakit jika harus melakukan belajar tatap muka, disisi lain BDR secara daring sangat kontra-produktif jika infrastruktur dan infrakulturnya tidak mendukung. Dan ketika saya sibuk mencari alternatif menghadapi BDR secara daring, boom, di akhir Juni salah satu anggota keluarga yang paling dekat dengan saya didiagnosa mengidap kanker. 


Fokus pun berubah dan menjadi lebih kompleks, saya mencoba merasionalisasi situasi yang sedang tidak sehat akibat COVID-19 serta mencari jalan keluar yang terbaik untuk menghadapi kanker. Sedih juga, mengingat RS di Penang - tempat ibu mertua ketika dahulu berobat kanker - sedang tidak menerima pasien overseas karena protokol kesehatan. Sementara RS yang terdekat berada di Medan, yang notabene adalah kawasan merah penularan COVID-19. 


Dan pada akhirnya, mengingat kankernya juga harus segera ditindak, salah satu RS di Medan menjadi pilihan kami sekeluarga. Menjelang jadwal operasi, saya pun harus juga ke Medan. Alhamdulillah tidak ada masalah berarti sebelum dan sesudah jadwal operasi berlangsung. 


Namun, di hari Rabu tanggal 29 Juli 2020, datang kabar tidak enak. Mengingat sudah banyak tenaga kesehatan yang positif corona, seluruh pegawai IGD RSUD Aceh Tamiang harus melakukan tes SWAB, tidak terkecuali istri saya. 


Fokus pun kembali bercabang, saya yang saat itu masih di Medan menemani anggota keluarga yang baru saja selesai operasi, harus juga berpikir bagaimana kondisi istri yang sedang hamil anak kedua mengasuh anak pertama yang sedang aktif-aktifnya di rumah, sembari menunggu hasil tes keluar.


Saya pun memutuskan pulang pada Kamis sore, agar bisa mengambil alih mengasuh anak, sehingga istri bisa fokus isolasi mandiri. Dan mengingat kontak fisik yang tidak terelakkan sebagai suami-istri, ketika pulang saya pun menahan diri untuk tidak berkumpul di tempat ramai, untuk menjaga orang lain kalau-kalau hasil tes SWAB istri saya positif. 


Namun, sudah hampir seminggu hasil tesnya belum keluar. Dan kabarnya Balitbangkes Provinsi Aceh juga sudah kehabisan alat untuk melakukan pengujian dan spesimen istri saya terpaksa harus dikirim ke Jakarta untuk diuji. 


Saya kesal sekali!!! Dengan APBD 2020 yang mencapai 17 Triliun, provinsi Aceh tidak mempunyai jalan keluar yang tepat untuk mengantisipasi membludaknya tes SWAB. Dan lebih dongkol lagi dengan Pemda di sini, ketika saya melihat berita di Sumatera Barat - tempat saya pernah tinggal selama empat tahun - berhasil melakukan inovasi sehingga dapat mengeluarkan hasil tes 2000an spesimen dalam satu hari, hanya dengan modal sekitar 4 Miliar!


Begitulah, tahun kedua tugas saya sebagai kepala sekolah dimulai dengan perihal tentang kehidupan yang sangat kompleks seperti ini. Dan saya juga harus tetap berdiam di rumah, paling banter keliling naik mobil untuk mengusir kebosanan, entah sampai kapan. Menunggu hasil tes SWAB istri bisa dengan selamat menyeberang dari Jakarta ke Aceh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

TOEFL iBT dan sebuah perkenalan dengan NAK

Rokok dan Saya