Now, this is what i do!
Tanggal 21 september 2013, merupakan tanggal yang terama istimewa bagi saya. Bagaimana tidak, pada pukul 08.00 pagi itu akan dilangsungkan upacara penuh khidmat dalam rangka pelepasan sarjana-sarjana muda di universitas saya. Sedangkan pada sore harinya, bertempat di aula jurusan saya tercinta akan diadakan farewell party yang kali ini diakomodir oleh rekan-rekan junior saya, mulai dari tahun masuk (BP/stambuk) 2010-2012, sedangkan BP 2013 juga memberikan kontribusi untuk mengisi acara yang diadakan.
Oke, tepat pada tanggal 21 itu pula. Saya, yang sebelumnya asyik
dengan kehidupan yang membuat kita semua (para mahasiswa) terlena, dengan
nikmatnya status yang diemban, yakni status sebagai mahasiwa. Status yang
membuat setiap pengembannya berada pada taraf atas pendidikan dan memiliki
banyak waktu untuk menikmati segala kejadian, hiruk pikuk, huru hara
dikampusnya. Ya, benar. melewati tanggal 21 september itu, status mahasiswa
yang saya emban selama 4 tahun terakhir akan berubah, dan saya harus berbahagia menyandang gelar pengangguran sarjana muda.
Gelar yang sangat prestisius
disamping juga memiliki sisi ironi. Benar sekali, seketika menyandang gelar
tersebut, maka terdapat pula kebanggaan secara sosial, karena memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dari beberapa tentangga, didepan, belakang,
samping kiri dan kanan rumah saya. Namun, yang menjadi ironinya adalah seketika
saya menyandang gelar tersebut, saya tidak lagi bisa menikmati masa kejayaan
layaknya ketika menjadi mahasiswa dulu. Tanggung jawab yang diemban juga sudah
180° berbeda dari sebelumnya, saya memiliki tanggung jawab untuk ilmu yang saya
miliki serta harus pula untuk siap mencari sesuap nasi dan segenggam berlian
dengan usaha sendiri.
Tidak ada lagi masa-masa seperti dulu, ketika kehabisan uang saku
maka telepon-minimal SMS-segara melesat menuju nomor telepon yang telah dihapal
ketika awal-awal menjadi mahasiswa baru, yakni nomor telepon sang ayah.
Sedangkan saat ini, kurang rasional rasanya jika ingin membeli sebuah buku baru
harus meminta tambahan uang saku. Rasa enggan sebenarnya juga telah muncul
ketika masa-masa kuliah mendekati semester-semester tua, walaupun memiliki
pekerjaan sampingan kecil-kecilan, toh hasilnya tak dapat juga menutupi akan
kebutuhan sehari-hari. Saat-saat itu terjadi ketika menyandang status
mahasiswa, nah apalagi sekarang sudah menyandang gelar baru pengangguran sarjana
muda, maka keengganan dan keseganan itu sedikit demi sedikit menaiki level
terbarunya.
Memasuki tanggal 22 september, lembar baru kehidupan sudah dimulai.
Lembar baru sebagai pengangguran sarjana muda yang akan
membawa saya ketahap selanjutnya dalam menapaki kehidupan yang bagi sebagian orang
merupakan jalan yang menanjak tinggi dipenuhi jurang-jurang dalam yang seakan
siap untuk menelan orang-orang yang terjatuh didalamnya. Namun, bagi sebagian
lainnya, dimana kehidupan merupakan seperti ajang terjun bebas dari ketinggian
awan sana yang benar-benar dinikmati, penuh kebebasan serta keceriaan, memacu
adrenalin sehingga gelora dalam raga tak akan pernah sirna, begitu indahnya.
Akan tetapi, saya masih belum mampu untuk menjalani diantara kedua kehidupan
tersebut, masa-masa ini mungkin bisa juga disebut sebagai masa transisi,
transisi dari nikmatnya menjadi mahasiswa menjadi masa tanggung jawab akan ilmu
dan diri dari seorang pengangguran sarjana muda.
Tanggal-tanggal berikutnya masih saya lalui dengan beberapa urusan
kampus yang masih belum terselesaikan, masih ada beberapa urusan menyangkut
berkas-berkas yang menjadi hak saya untuk dibawa serta belum dapat saya terima
sepenuhnya, dikarenakan belum siapnya berkas tersebut. Ada juga berkas yang
harus saya siapkan secara mandiri-jika tidak bisa dibilang sendiri. Yakni
beberapa berkas yang diperlukan untuk rencana studi selanjutnya.
Tentu saja,
idealisme saya tidak bisa menerima untuk belajar dengan kondisi yang seperti
ini saja, minimal studi berikutnya harus lebih asing, lebih pucat, lebih
bermusim dari tempat sebelumnya. Tidak usah jauh-jauhlah, minamal dapat
diterima di Norwegia atau Finlandia.
Tentu saja, dalam melewati tanggal-tanggal itu saya tidak hanya
berdiam diri menunggu semua kejelasan tiba. Minimal olahraga lari, yang menjadi
favorit saya, dapat saya tingkatkan intensitasnya. Hitung-hitung punya waktu
luang dari sebelumnya. jarak tempuh juga lebih sering untuk dijauhkan dari
biasanya sewaktu melakukannya pada masa kuliah. Saya juga tidak bisa berdiam
diri dengan mengharapkan mimpi menjadi nyata dengan sendirinya, setidaknya ada
usaha yang saya lakukan untuk membuat impian itu dapat berlanjut nantinya
dengan melumat beberapa TOEFL Preparation Test baik yang
digital maupun kertas manual.
Ketika waktu senggang, selain kedua kegiatan
tersebut, saya juga biasa untuk melengkapi beberapa buah buku bacaan saya, baik dalam
bentuk digital maupun kertas manual juga tentunya. Semua kegiatan ini, terus
saya lakukan disetiap detik yang terus berdetak untuk mengisi kesenggangan dalam
sehari semalam. Hingga pada akhirnya semua urusan tersebut telah selesai, baik
yang menyangkut akedemik dan birokrasi, dan tibalahwaktu saya untuk benar-benar
berpisah dan mengakhiri hubungan dengan keadaan-bukan orang yang berada
didalamnya.
Pada tanggal 12 Oktober 2013, saya meninggalkan setiap
detil kenangan yang telah saya bangun selama 4 tahun terakhir, meninggalkan
setiap inci tempat-tempat yang telah memberikan saya kesenangan, ketenangan dan
sedikit rasa penderitaan, meninggalkan aroma linkungan yang telah sangat
dikenal oleh sistem penghidu yang saya miliki, saya meninggalkan itu semua.
Beberapa teman yang telah bersama dalam 4 tahun terakhir, memberikan salam
perpisahan yang berkesan di ujung gerbang keberangkatan di bandara. I gotta go home, for good!
Kurang dari 2 minggu sejak perpisahan yang lumayan membuat hati
ini enggan untuk pergi telah saya lalui, hari-hari yang saya lalui tidak
terlalu jauh berbeda dari beberapa kegiatan yang terus saya ulangi untuk mengisi
kesenggangan dalam setiap detik dalam sehari semalam. Kegiatan lain juga bertambah,
seperti kebiasaan saya untuk menulis dan mengutarakan beberapa pemikiran yang
berusaha meminta untuk dikeluarkan dari alam pikiran, serta pilihan untuk terus
melangkah juga terus harus tetap dijamah. Semua impian yang ingin saya
lanjutkan juga tetap menjadi acuan dalam setiap langkah yang saya lakukan.
Disamping saya juga harus melihat secuil realita, dimana tuntutan seorang pengangguran sarjana
muda dalam sudut pandang masyarakat sosial harus menyibukkan diri dan
menggeluti dunia kerja. Ya, sebenarnya tuntutan sosial juga sedikit
mempengaruhi pola pikir saya dalam beberapa hari belakangan. Namun, saya tetap
pada prinsip saya, menikmati masa indah dalam balutan status seorang pengangguran sarjana
muda dengan tetap melakukan kebaikan kepada sesama sejauh yang saya bisa serta
terus berusaha untuk menggapai impian saya setiap incinya, karena terlalu muluk
rasanya jika usaha untuk menggapai suatu impian besar dilakukan hanya dengan
sekali dayung saja. Now, this is what i do!
Komentar
Posting Komentar
Dipersilahkan tanggapannya