Ketika Hujan Mendera
Jam
sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB, curah hujan sudah tidak selebat
ketika turun pertama kali dipagi menjelang shubuh tadi. Walau dengan
curah yang tidak begitu lebat, namun suasana ini dapat membuat
siapapun enggan untuk keluar dari tempat berteduhnya, seperti aku
yang terus berada di kamar 4 x 4 meter ini, sambil terus membaca buku
yang sedari tadi pagi telah kubuka. Semilir angin juga terlalu
‘menggoda’ untukku, sehingga selimut tebal yang selalu aku
gunakan untuk tidur tak kunjung aku rapikan, malah telah melilit
sekujur tubuhku yang menyisakan bagian kepala dan tangan saja yang
tak terlindung oleh kehangatannya.
Sesekali,
aku menatap layar smartphoneku yang menampilkan notifikasi
dari media sosialku, dan sesekali aku juga iseng untuk mengintip
beberapa berita dari beberapa penyedia berita secara online
yang dapat aku nikmati secara gratis. Secara garis besar, aku hanya
membaca Headline dan beberapa kanal olahraga yang aku gemari,
lalu sembari sedikit bergumam ku tutup halam berita tersebut dan aku
kembali bermesraan dengan bacaan yang belum aku tuntaskan walau hanya
setengahnya. Cerita dalam buku ini sungguh kontras dengan realita.
Ya, realita keadaan negara ini, suasana carut marut penguasa yang
seperti tak ingat akan ajalnya, keadaan ekonomi rakyat menengah
kebawahnya yang semakin terpuruk, hingga persoalan pendidikan yang
tidak merata. Dalam buku yang sedang aku lumat ini, diceritakan
sebuah keadaan negara madani, dimana pemerintahnya memerintah dengan
segenap tenaga dan pikirannya untuk mewadahi rakyatnya sehingga semua
dapat terlayani dengan baik dan sempurna, ekonomi negara yang
ditopang dengan kejujuran para pemerintahnya membuat semuanya
bahagia, hingga biaya pendidikan bagi rakyat yang sama sekali tidak
dipungut bahkan hingga tingkat universitas tingkat sarjana muda.
Benar-benar
sebuah ironi, sungguh pengarangnya mengharapakan sebuah uthopia.
Bagaimana bisa dia membuat sebuah cerita mengenai sebuah negara
madani ketika dia sendiri tinggal di negara yang tak jelas
pemerintahan dan hukum yang berada di dalamnya. Bagaimana mungkin dia
bisa memikirkan detail yang tersaji dengan sejuta kebaikan di
dalamnya sedangkan negaranya sungguh teramat susah untuk memunculkan
satu kebaikan kecil sekalipun jua. Bagaimana dia menulis sebuah
negara yang memiliki taraf pemberian sumbangan yang tinggi dan
kontinu kepada warganya yang membutuhkan sedangkan negara yang
ditinggalinya penuh dengan praktek suap dan korupsi yang merajalela.
Bagaimana dia bisa memunculkan suatu plot dimana pendidikan menjadi
salah satu kebutuhan utama yang harus diberikan pemerintah kepada
warganya dengan cuma-cuma sedangkan di negaranya sendiri banyak
gedung-gedung sekolah yang rubuh ketika hujan dan badai tiba. Sungguh
sebuah ironi, cerita ini, negara ini.
Semua
pertanyaan tersebut berkecamuk dalam pikiranku, hingga membuatku lupa
untuk meneruskan bacaan yang seharusnya menjadi penghibur dan
penghangat dikala hujan tiba. Ah, hujan. Selalu memberikan pesan
seakan dunia ini butuh sebuah kesegaran sehingga tidak hentinya
mendera tanah dengan tumpahan air yang sepertinya tak hingga. Dikala
suasana sejuk sayup dan dingin yang menusuk aku harapkan akan sirna
ketika aku membaca paragraf demi paragraf dalam buku ini. Namun,
demi sebuah realita yang sama sekali tak dapat aku terima, ketika
membaca rangkaian paragraf dalam buku tersebut yang menyajikan sebuah
kontradiksi yang telah lama aku rasakan bahkan mungkin telah dimulai
jauh sebelum aku menginjakkan kakiku diatas dunia untuk pertama
kalinya.
Ah,
sungguh membuat manusia yang menikmatinya dilanda perasaan
berkecamuk, menimbulkan beragam tanya dalam benaknya, membuat manusia
menunda untuk keluar dan segera beraktifitas mengisi hari-harinya.
Seketika aku menerawangi isi kamarku, dan terlihat olehku sebuah
cangkir yang sebelumnya terisi kopi diatas meja, tak berisi. Dengan
sedikit geliat, aku sibakkan selimut yang menutupi tubuhku, lalu
mentup buku yang tak sampai setengahnya selesai aku baca dan
menyisipkan bookmark yang tersedia dalam paket buku tersebut
ketika aku membelinya, segera ku ambil cangkir kosong itu dan
bergerak menuju dapur untuk mendapatkan cangkir kedua, refill
untuk menghangatkan tubuh dan mengusir sedikit kantuk yang mulai
tiba. Ah, ketika hujan mendera.
Komentar
Posting Komentar
Dipersilahkan tanggapannya