(Thrilling) Adventure to Sangka Pane

Pagi tadi - Saya, Zamrud, Suheri, Sauza dan Ariel - memulai sebuah perjalanan dari pusat Kabupaten Aceh Tamiang menuju sebuah tempat yang memberikan  jamuan panorama alam yang - katanya - masih terbilang sangat alami. Sekitar 50an KM jarak tempuh yang kami lakukan, dan 2 jam lebih yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut. Kurang proporsional memang dengan jarak yang 50an KM ditempuh dengan waktu 2 jam lebih. Namun, jika kalian melihat "medan tempur" yang kami lewati, sungguh sesuatu tersebut dapat dikatakan sangat masuk akal, teramat sangat malah.

Perjalanan yang kami lewati teramat melelahkan, menguras kekuatan fisik serta memberikan (sedikit) dampak kesehatan yang buruk. Terang saja, jalan yang kami lalui bagaikan hamparan padang debu yang berliku, menyisakan sedikit saja jalanan yang teraspal, tak sampai 1 KM malah. Perjalanan kami menuju Desa Bengkelang dan Pengidam, daerah yang menawarkan Air Terjun sebagai nilai jual wisata daerah tersebut. Sangka Pane, begitulah nama objek wisata itu.

Namun, sebelum kami dapat menikmati salah satu keindahan alam karya Sang Pencipta tersebut. Tentulah kami harus melakukan perjalanan, darat, untuk mencapainya. Seperti yang saya terangkan di atas. Menyenangkan memang, perjalanan tersebut melewati beberapa buah pedesaan yang sebagian besar rumah-rumah penduduknya masih terbilang sangat tradisional, bahkan sebagian tergolong memprihatinkan. Lain perumahan penduduk di desa-desa tersebut, lain pula jalan yang menjadi pusat lalu-lalang kendaraan yang hilir mudik. 

Seperti juga rumah-rumah di desa tersebut. Jalanan ini tak mau kalah, dengan sebagian besar berupa jalan tanah berbatu, yang dibarengi dengan debu jika musim panas serta lumpur jika musim hujan tiba, dan menyisakan kecil jalan yang telah diaspal, terlalu kecil bagian tersebut hingga saya lupa berapa hitungan jarak (pastin) jalan yang telah diaspal tersebut.

Spoiler:
Kondisi jalan beberap Pedesaan yang dilalui

Kondisi jalan yang sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya lalu-lalang kendaraan beroda dua, empat, bahkan enam! Sekali pun di daerah tersebut terdapat perkebunan Kelapa Sawit sebagai salah satu komoditi utama penyokong pendapatan ekonomi daerah. Namun, tak dapat saya nafikkan juga, kondisi jalan yang demikian membuat saya lebih "tertantang" untuk melintasinya. Ah, urusan jalan tersebut biarlah menjadi perhatian pemerintah sebagai ujung tombak utama dalam pembuatan dan pembenahannya, bukankah pajak yang saya - dan kalian - bayarkan setiap hari dan tahunnya dipergunakan untuk hal-hal semacam itu?

Perkebunan Kelapa Sawit, benar! Disini terdapat berhektar-hektar hamparan perkebunan Kelapa Sawit. Bahkan untuk dapat mencapai Sangka Pane tersebut, kami harus melalui jalan-jalan berbukit yang dikelilingi oleh kebun-kebun Kelapa Sawit ini. Menguntungkan dalam hal ekonomi memang, namun yang saya sayangkan perjalanan yang seharusnya dikelilingi oleh hutan-hutan alami, ditemani dengan ribuan bahkan puluhan ribu pepohonan yang, sebagian, menjulang tinggi tak dapat sempurna saya nikmati. Mengingat sebagian besar hutan tersebut telah dijamah dan berubah fungsi menjadi perkebunan penyokong utama ekonomi daerah, dan masyarakat di kawasan tersebut. Dilema? Benar, begitu jika dapat saya katakan.

Perjalanan berbukit, naik turun, bertanah, berbatu serta berdebu harus kami lewatkan, guna mencapai tujuan dari perjalan hari ini. Sampailah kami masuk jauh kepedalam perkebunan tersebut, dan kami mendapati petunjuk-petunjuk arah menuju objek wisata yang akan kami tuju. Dan ketika kami tiba di depan gerbang objek wisata yang dituju, barulah dapat dijumpai hutan-hutan dengan (sedikit) pohon-pohon (yang tersisa) yang menjulang tinggi seperti yang saya harapkan sebelumnya.
Gerbang objek wisata Sangka Pane
Belum! Belum! Bukan berarti dengan melihat gerbang tersebut, kami telah tiba di tempat Objek Wisat itu berada. Kami terlebih dahulu harus melewati jalan setapak, yang hanya dapat dilalui oleh satu kereta (motor roda dua) saja. Disamping kanan kiri jalanan tersebut, masih mengular semak-semak buluh, rerumputan hutan, pepohonan kecil, dan berbagai tumbuhan liar yang menemani perjalanan panjang sekitar 1,5 KM menuju tempat yang dijanjikan. Tak luput jurang-jurang yang berada sekitar 2-3 M dari pinggiran tumbuhnya tumbuhan-tumbuhan tersebut, walaupun tak terlalu curam namun tetap memompa adrenalin dan memaksa harus tingginya konsentrasi pejalan yang melalui.

Jalanan tersebut, yang cenderung menurun ketika kami menuju Objek Wisata tersebut, tidaklah begitu mulus, dalam artian terdapat lubang-lubang yang sedikit dalam, gundukan tanah, dan berbagai "penghambat" kecil lainnya. Seru dan juga memberikan efek pegal di berbagai persendian tubuh, mengingat harus terus menjaga kestabilan di atas kereta. Jalanan tersebut juga kadang menyempit di beberapa titik, sehingga ketika melewatinya sebagian tubuh akan seperti "ditampar-tampar" oleh sejenis tumbuhan, buluh, dan beragam tanaman berakar gantung lainnya.
Spoiler:
Sedikit gambaran track yang dilalui

Setelah kurang lebih 15 menit perjalan yang mendebarkan, menyakitkan, dan juga melelahkan. Kami akhrinya tiba di tempat yang kami tuju, di parkiran kendaraan Objek Wisata! Soalnya, hanya dengan berjalan kaki kami dapat tiba di Objek Wisata Air Terjun Sangka Pane tersebut. Perjalan yang kami lakukan memanglah tidak sia-sia, semua kelelahan, sakit, nafas yang terpapar debu yang berterbangan dan beragam rasa yang dialami selama perjalanan tersebut terbayar lunas, tuntas seketika, ketika kami disambut dengan jernihnya air yang mengalir, bebatuan besar yang  berjejeran, sedikit rapi dan lebih banyak yang terpencar di sana sini. Kami tiba!

Perairan dan Air Terjun Sangka Pane
Musim kemarau mempengaruhi debit air yang mengalir di kawasan Air Terjun tersebut, namun itu semua tak mengurangi keseruan yang kami lalui seharian ini. Hampir setengah hari, kami habiskan untuk bercanda dan bermain di kawasan tersebut. Menjelajah tempat tersebut hingga daerah ujung yang tak sempat kami selesaikan. Didukung dengan suasana asri nan alami khas hutan tanpa jamahan tangan-tangan jahil Manusia, elegan, sungguh benar elegan ciptaan Sang Pencipta.

Well, begitulah kisah keseharian yang sungguh melelahkan nan menyenangkan hari ini. What an adventurous day we had! Tak sabar ingin mengulanginya, tentu di kawasan yang berbeda dengan tingkat keseruan lainnya. Namun, tak menutup kemungkinan untuk kembali lagi ke sana, ketika debit air mencapai volume terbaiknya.

Well, where the so-called thrilling part is, sir?

Benar, sungguh ada kejadian yang benar-benar mendebarkan jiwa dan raga ketika kami berada di sana.
Ceritanya, Sauza, Suheri, Saya, Ariel dan Zamrud, hendak menelusuri hingga menjumpai beberapa tingkatan air terjun yang kami harapkan dapat kami temui. Berdasarkan informasi dari penduduk yang berada di sekitar tempat tersebut, tempat tersebut ada, namun lumayan jauhnya.
Tanpa tedeng aling-aling, setelah meyelesaikan urusan dengan Tuhan, dan perut tentunya, kami berjalan menelusuri sumber air. Urutan perjalanan adalah seperti yang saya sebutkan tadi, dengan Sauza berada di depan dan Zamrud berada paling belakang. 30 menit kami berjalan menyusuri ke hulu aliran Air Terjun, kami berjalan menyisiri pinggiran aliran air yang berbatasan dengan lereng kaki bukit yang menjulang tinggi di sebelah kami, lengkap dengan pohon berdaun besar, batang hingga akar yang juga besar.
Dengan 30 menit tersebut, tibalah kami di kawasan yang aliran airnya hampir tak bergerak sama sekali, bahkan tak terdengan suara gemericik air setetes pun! Suasana yang sangat senyap, bahkan tak juga terdengar suara serangga, burung-burung  hutan, yang biasanya ada menemani perjalanan kami. Hingga ketika Suheri berkata "SSsstt... Dengar? Suara apa itu?".

Kami sontak berhenti, dengan posisi Sauza dan Suheri yang sudah tinggal sejengkal dengan pinggiran setapan dan air, sedangkan kami bertiga masih sedikit berada di tengah jalan setapak yang kami lalui. Sauza kemudian menimpal "Oooh, suara pesawat tu". Kami pun hampir serempak, meng-ooh kan jawaban darinya.

Tetapi, tak seorang pun diantara kami berlima yang beranjak dari tempat berpijak, bahkan tak juga terlalu bergerak banyak. Lantas suara "pesawat" itu kembali terdengar, dengan intensitas jumlah dan volume yang lebih banyak dan besar, dan agak dalam pula. Jelas, suara "RRRR" itu berualang kali kami dengar.

Seketika itu pula, dalam kepala saya terbayang penggalan kalimat yang terdapat di novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye, yakni "Wahai, kalian seharusnya lima kali lebih takut saat di sekitar kalian mendadak senyap, hening. Bukan takut saat mendadak ada suara teriakan atau cekikikan. Wahai, senyap yang datang tiba-tiba, itu berarti pertanda ada maut besar yang mengintai. Pertanda kehadiran kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan itu benar".
Kalian percaya, saya baru saja menamatkan novel tersebut kemarin malam! Penggalan kalimat tersebut terngiang dalam kepala saya seiring deruman "RRRRR....RRRRRR" yang makin terdengar kencang, yang terus mengulang!

Seketika itu juga, saya berkata kepada Sauza "Jangan turun (ke air)!". Suasana di setepak kecil pinggir air mulai membuncah, dan ketika itu Zamrud lantas berseru "Harimau!". Dan kami berempat hampir serempak, jika tak dapat disebut bersama-sama, berseru "Ssstt!!, jangan dibilang", dengan volume merendah.

Kami pun sontak memutar arah, untuk segera kembali menuju "check point" nyaman yang kami nikmati tadi. Ariel yang berada di belakang iring-iringan kelompok berkata "Lok, jalan di depanlah!" dengan nada suara yang agak bergetar. Saya yang berada di tengah kelompok tersebut, menuju ke arah belakang, untuk menjadi orang yang berjalan paling depan ketika kami menuju tempat awal kami tersebut.

Dan jika dirunut, perjalanan balik kami adalah Suheri/Sauza paling belakang, Ariel, Zamrud, dan saya yang berada paling depan. Saya sontak berseru "Bismillah! Jangan lari, tenang, jalan kek biasa aja". Meskipun otak saya telah dipenuhi dengan sensasi adrenalin tingkat tinggi, dan langkah kaki yang teramat berat, yang sangat ingin berlari untuk mempercepat langkah, tapi tetap saya tenang-tenangkan.

Saya sudah tak sempat memperhatikan terlalu detail sekitar, saya merasakan, juga Zamrud, jika di sebelah kami, di kaki lereng bukit tersebut, seperti ada yang mengikuti gerak langkah kami! Perlahan, kami pun melangkah, dengan hati yang tak bisa tenang, hati yang terus meminta bantuan dari Sang Maha Pemberi Bantuan, akhirnya kami pun sampai di tempat yang kami anggap aman. Sujud syukur dan seruan Alhamdulillah lantas otomatis mengikuti.

Begitulah, di tempat yang kira-kira 30 menit berjalan kaki tersebut, di tempat yang laju airnya bahkan seperti terhenti sama sekali, di tempat yang bahkan suara serangga, burung-burung, suara angin sekali pun tak terdengar, kami berkesempatan untuk mendengar deruman suara Harimau. entahlah, setidaknya kami berlima sepakat dengan hal tersebut, kami berjumpa - walau pun tak tertatap dengan mata masing-masing - Harimau!






Komentar

  1. apakah .jalan menuju air terjun sangka pane. sama dengan .jalan menuju air terjun simpang kiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. beda bro Rizael. kalau air terjun simpang kiri diakses dari jalan pulau tiga. kalau sangka pane dari Babo :)

      Hapus

Posting Komentar

Dipersilahkan tanggapannya

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Hidup dan Beradaptasi

Rokok dan Saya