Kau bilang Yogurt, aku bilang Dadiah!

Membaca kata yogurt, pikiran kita langsung membayangkan olahan susu sapi yang difermentasikan, yang rasanya asam dan merupakan sebuah alternatif asupan gizi yang baik bagi kesehatan dan ketahanan tubuh. Namun, apa yang terlintas dibenak anda ketika membaca kata "Dadiah"? Sebagian mungkin sama sekali asing dengan kata tersebut. Namun, sebagian lainnya dapat menginterpretasikan kata tersebut dan membayangkan dalam benaknya betapa nikmatnya olahan susu kerbau tersebut.

Yup, Dadiah merupakan jenis minuman-atau makanan- khas ranah minang, asli Indonesia, yang terbuat dari susu kerbau-atau kabau dalam bahasa minangnya. Susu yang telah diperah, selanjutnya dimasukkan kedalam potongan bambu setinggi 15-20 cm, serta didiamkan selama semalam. Dadiah memiliki sensasi asam dan tekstur yang tidak jauh berbeda dari yogurt. Namun, teksturnya memiliki semacam serat yang lebih banyak dari pada yogurt dari susu sapi.

Penyajian yogurt yang biasa dikonsumsi langsung atau dicampur kedalam jus buah- dan menjadi smoothie-dapat juga diaplikasikan ke dadiah. Namun, lazimnya masyarakat minang mengolah dadiah bersama dengan ketan, bubur sumsum, parutan kelapa dan dituangkan dengan kuah yang terbuat dari gula merah yang dicairkan. Jamak disebut sebagai 'katan badadiah' oleh masyarakat minang.

Sensasi rasa yang diberikan cukup kaya. Disampung rasa dadiah yang asam, terdapat rasa gurih dari ketan dan parutan kelapa, terdapat juga rasa manis nan lembut dari campuran bubur sumsum dan kuah gula merahnya. Didalam lidah, semua rasa tersebut bercampur dan meninggalkan sensasi yang khas dari katan badadiah tersebut, sehingga ingin rasanya untuk terus menyendokkan menu yang terhidang kedalam mulut.

Seiring bergulir zaman menyebabkan berkurangnya juga penyedia kuliner khas ranah minang ini. Teman saya yang asli orang lintau-salah satu nama daerah di sumatera barat- menuturkan jika dadiah sudah sulit didapatkan, apa lagi katan badadiah. Sewaktu dia masih SD, masyarakat disekitarnya sering bersama untuk membuat katan badadiah sebagai hidangan dihari-hari besar, seperti maulid nabi. Ketika itu, amak-amam (panggilan ibu-ibu dalam bahasa minang) akan berkumpul di mushalla atau balai desa, untuk bersama mengolah dadiah dan pernak-perniknya bersama-sama. Sehingga, hari-hari besar begitu ia nantikan karena pada hari tersebut dia dapat menikmati hidangan dadiah bersama dengan orang yang datang. Namun, sekarang ini ketika perayaan hari besar tiba, sudah jarang ada masyarakat yang berkumpul dan membuat dadiah, begitu imbuhnya.

Saya sendiri, yang notabene berdomisili di kota padang selama kurang lebih 4 tahun, baru dapat merasakan nikmatnya katan badadiah baru-baru ini saja. Karena, hidangan tersebut hanya dapat saya temukan di tanah lintau. Itupun hanya 1 buah kedai yang menjual jenis hidangan tersebut. Dan apakah 10 tahun lagi saya yang akan beranjak dari ranah minang ini masih akan dapat menikmati jenis kuliner khas minang ini?
Sungguh, ketika kau bilang yogurt, aku bilang dadiah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

Hidup dan Beradaptasi

“Short Time” di Kuala Lumpur