Keniscayaan Sebuah Perubahan (Pendidikan)

Merintis sebuah pergerakan untuk perubahan memang tak pernah dilalui dengan langkah yang mulus, sekalipun sesuatu tersebut mendapatkan sokongoan berupa dana yang melimpah. Karena sejatinya perubahan itu berlangsung perlahan dan memiliki jenjang waktu tertentu. Tak ubahnya seperti ulat yang ingin bertransformasi menjadi kupu-kupu yang indah di taman. Ulat harus melewati masa-masa puasa, menjadi kempompong, hilang dari peredaran untuk sementara waktu, dan jika tiba waktunya akan keluar dari "rumah" yang telah menaunginya tersebut dan menjadi seekor kupu-kupu, yang biasanya indah.

Untuk sebuah daerah atau kota besar, seperti Medan atau Banda Aceh kita ambil contoh, isu mengenai perubahan paradigma dan filosofi pendidikan, yang dinamis mengikuti perkembangan zaman yang dilewatinya, program Pendidikan Untuk Semua (Education for All) dikenal juga dengan Pendidikan Inklusi, masih sangat asing ditelinga sebagian besar para pengambil kebijakan, dinas terkait, hingga guru. Terlebih jika menawarkan isu tersebut kepada orang tua siswa, sebagai wali dari objek kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Nah, perubahan paradigma ini saya coba bawakan ke Aceh Tamiang, yang faktanya adalah sebuah Kabupaten paling ujung dari bagian Provinsi Aceh, dan merupakan gerbang antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Sehingga ada beberapa celetukan bahwa Kabupaten kami juga dikenal dengan Provinsi Aceh-Sumatera, yah begitulah yang sering saya dengar. 

Sesungguhnya, dengan melihat fakta dan realita di daerah ini. Sebagian besar masyarakatnya masih awam dengan perkembangan paradigma pendidikan. Bahkan, orang tua siswa sendiri selaku "pemilik" anak-anak mereka cenderung melabelkan anak dan pendidikan itu harus disamaratakan, bukan berlaku adil. Dan jika anak memiliki kebutuhan khusus (difabel), anak terlanjur dikategorikan sebagai warga masyarakat "kelas 2". Saya juga tidak mengerti pola pikir seperti ini masih menjalar dibenak masing-masing orang tua tersebut. Anak yang mereka miliki cenderung mendapatkan ketidak percayaan dari orang tua mereka sendiri. Bukankah itu anaknya sendiri? Bukankah merupakan suatu keniscayaan jika harus memberikan penghargaan dan kepercayaan yang lebih kepada anak sendiri? Bukankah idealnya demikian?

Saya juga dapat memaparkan bahwa kurangnya dukungan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan sektor pendidikan inklusi ini. Contohnya saja keberadaan dan pemberdayaan guru-guru, guru sekolah sumber (SLB) yang telah mengabdi bertahun-tahun masih kurang diperhatikan. Mengumbar janji yang terlampau manis kerap dilakukan, yakni ketika mengatakan akan mengangkat guru-guru yang telah bakti bertahun-tahun untuk menjadi honor daerah misalnya. Namun, semua itu manis dilidah pahit dilangkah.

Pengembangan dan pelatihan guru-guru, terlebih guru pendidikan kebutuhan khusus, memang ada dilakukan. Namun, ketika mensinergikannya dengan guru-guru dari sekolah reguler tampaknya masih kurang dilakukan, karena untuk program pendidikan inklusi sendiri masih banyak orang-orang dari jajaran instansi dinas selaku pengawas dan pengontrol implementasi program tersebut yang masih bingung tentang hal itu, jadi bagaimana mau melakukan pengarahan ketingkat sekolah-sekolah yang dikomandoinya.

Namun, ini semua menjadi sebuah tantangan yang sangat layak untuk diperjuangkan. Saya melihat kemerosotan pola pendidikan yang sangat sistematis. Dimulai dari Sistem yang kurang menghargai perbedaan, hingga skill guru yang tak kunjung ditingkatkan, yah walaupun gaji PNS ditunjang Sertifikasi terus melejit. Namun, terkadang nominal angka dibuku tabungan tidak berbanding lurus dengan pola pikir dan teori pendidikan.

Tak dapat dipungkiri, di Aceh Tamiang sendiri sejatinya memiliki banyak potensi dari siswa-siswa yang dapat digali, terbukti dengan beragam kompetisi dan kegiatan yang diwakili oleh putra-putri daerah ini hingga ketingkat Nasional. Namun, penggalian potensi tersebut masih berupa pemenuhan angka-angka belaka. Bukankah amanat Pancasila kita adalah terciptanya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?

Inilah segenap fakta yang terjadi di tempat ini, diujung pintu gerbang antar dua Provinsi. Di tanah Raja Karang. Bisakah perubahan-perubahan yang diharapkan dan diperjuangkan tercapai dalam waktu singkat? Mungkin tidak! Tapi, itu tidak mengubah sesuatu apapun tentang proses perjuangan yang bersama kami lakukan, ya saya dan segenap teman yang tergabung dalam Lembaga Kajian Pendidikan Rumah Inklusi Madani, berusaha untuk menjadi batu penggerak perubahan dibidang pendidikan ini. Kamu yang sedang membaca untaian kalimat dalam artikel ini seharusnya juga berkontribusi, tak bisa dengan langkah, lakukan dengan kata-kata. Bongkar keburukan-keburukan yang terjadi dalam Sistem Pendidikan kita, Sistem Belajar dan Pembelajaran kita, sistem yang seharusnya memberikan kita janji-janji masa depan yang lebih cerah, yang akan diterima oleh adik, anak, hingga cucu kita kelak. Itu merupakan Keniscayaan Sebuah Perubahan (Pendidikan) kita, InsyaAllah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melanjutkan Studi Doktoral dan (Kebimbangan) Memilih Topik Penelitian Bagian 1

TOEFL iBT dan sebuah perkenalan dengan NAK

Hidup dan Beradaptasi